Oleh: Moh. Fikri Zulfikar*
“Saya tidak setuju dengan apa yang anda katakan, tapi saya akan membela sampai mati hak anda untuk mengatakan itu.” –Voltaire
Kata-kata Voltaire itulah yang mungkin relevan dengan apa yang diperjuangkan oleh Munir Said Thalib, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang tewas 7 September 2004 di pesawat Garuda ketika perjalanan ke Amsterdam Belanda. Perjuangan Munir tidak kenal ras, agama, dan budaya, semua seperti hendak dia bela dari penindasan yang membelenggu manusia. Mulai isu pelanggaran HAM terhadap buruh, aktivis mahasiswa, hingga rakyat yang terjajah pun dia bela. Dia sosok pemberani, walaupun dia tahu risiko terbesar atas pembelaan-pembelaannya akan berakibat nyawanya melayang.
Film “Kiri Hijau Kanan Merah” produksi Watchdoc Dokumentary cukup mampu mengisahkan hal-hal besar yang diperjuangkan Munir selama hidupnya. Yang saya kira bisa menjadi teladan maupun patron aktivis ideal yang muncul pasca Reformasi untuk melihat kondisi sosial akhir-akhir ini. Film ini menampilkan genealogi Munir untuk menjawab bagaimana dia bisa memiliki sikap yang kritis untuk membela kaum kecil yang dipandang sebelahmata seperti isu-isu perburuhan?
Dari film itu kita mengetahui sikap kritis dan pemberani dari Munir yang ditampakkan. Mulai dia kecil yang berani memperjuangkan haknya atas gangguan teman-temannya sehingga perkelahian pun tak terhindarkan. Begitu pula ketika di dunia perkuliahan dia memasuki iklim aktivis melalui senat kampus dan HMI, sehingga mematangkan pemikirannya tentang apa yang harus dia perjuangkan ketika dia lulus dari kampus UB. Dengan pengetahuan hukum dari kampusnya, dia terjun di masyarakat tanpa kagok dengan mencemplungkan diri pada perjuangan HAM. Munir mengadvokasi berbagai kasus yang notabene kliennya kaum kecil yang sepertinya menjadi konsernnya.
Dari film itu pula kita mengetahui bahwa kasus-kasus besar yang memiliki risiko besar dia gawangi. Bagaimana tidak risiko besar? Musuh yang diahadapi adalah militer dan penguasa, terutama ketika Orde Baru berkuasa. Kasus besar pertama yang dia hadapi ketika aktif di LBH Surabaya dengan mengadvokasi buruh Pabrik di Sidoarjo yang tewas ditangan militer, Marsinah. Tak berhenti disana, di juga turut mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) untuk mendampingi keluarga 24 aktivis, seniman, dan pelajar korban yang menjadi korban penculikan. Atas perjuangannya di Kontras itulah, Pangkostrad Prabowo dipecat hingga Danjen Kopassus Mayjend Muchdi PR dibebastugaskan. Karena perjuangannya itulah menyeretnya pada risiko-risiko besar yang mengancam hidupnya dikemudian hari. Namun dia tetap berani!
Setelah Reformasi, perjuangan HAM yang dia gaungkan pun tak berhenti. Melihat banyaknya pelanggaran HAM ketika terjadi konfrontasi di Timor-Timur (Timtim), dia hadir untuk mencarikan keadilan kepada masyarakat tertindas agar lepas dari jerat penjajahan. Perjuangannya pun semakin tak terbendung, hingga akhirnya upaya jahat digunakan untuk menghentikan langkahnya. 17 tahun yang lalu dia meninggal di pesawat atas pembunuhan keji untuk membungkam aktivis besar bertubuh kecil ini.
Dengan besarnya risiko atas kerja-kerja advokasinya hingga maut menghampiri, lantas apa sebenarnya yang ingin Munir perjuangkan dalam hidupnya? Boleh kiranya saya untuk berpendapat yang kiranya sangat boleh disanggah ataupun tidak sependapat dengan anda. Ada tiga hal yang diperjuangankannya, (1) humanisme, (2) sosialisme, dan (3) islamisme kritis. Ketiga hal itulah sepertinya yang juga dijadikan pertimbangan film ini diberi judul Kiri Hijau Kanan Merah. Bagaimana kita memahami Munir yang memiliki kecenderungan menyerap semua kebaikan dalam setiap ideologi di dunia, entah ideologi Kiri maupun Kanan untuk kepentingan kemanusian.
Mari kita coba dedah pemikiran dari berbagai aktivitas Munir dalam upaya perjuangan HAM yang dia lakukan. Pertama, Humanisme yang agaknya paling terlihat, dengan upaya-upaya semasa hidupnya. Humanisme terlihat dari sikapnya yang anti kekerasan terepresentasi dalam upaya mengungkap dan mendampingi kasus penghilangan paksa dan terkait represi militer terhadap rakyat. Sepertinya Munir juga anti fasis, dengan terus berani mendampingi keluarga korban penghilangan paksa hingga menyeret petinggi Militer di Indonesia ke pengadilan yang notabene saat itu berkuasa. Walaupun begitu dia bukan seorang yang anti militer. Hal ini bisa terlihat dari upayanya yang ingin melihat militer Indonesia bisa maju dengan ikut dalam pembahasan RUU Militer hingga memperjuangkan kesejahteraan prajurit.
Kedua, Sosialisme adalah hal yang juga Munir perjuangkan. Hal ini bisa terlihat dari upayanya mencari keadilan bagi buruh perempuan yang bekerja pada PT. Catur Putra Surya, dia adalah Marsinah. Marsinah, seorang buruh kecil di Pabrik Sidoarjo tewas karena memperjuangkan hak upahnya dan kawan-kawannya pun tak luput dari perhatian Munir. Hal ini lah yang merepresentasikan pemikiran Munir dalam perjuang kelas untuk kesejahteraan rakyat dan penghapusan penghisapan atas manusia satu dengan manusia lainnya.
Ketiga, Islamisme Kritis juga tak luput dari hal yang menjadi konsernnya. Terlihat jelas dalam film itu ketika Munir memberi ceramah dalam sebuah majelis pengajian. Dalam ceramahnya sangat jelas menyerukan pada kaum Islam bahwa agama mereka turun ke bumi untuk kesejahteraan manusia. Bagaimana agama seharusnya menjadi alat untuk memperjuangkan kebuah keadilan dan tidak berdiam diri hanya bersyukur serta sabar menerima nasib sebagai manusia miskin. Melihat cara-cara ini seperti yang dilakukan oleh H.O.S Cokroaminoto dalam konsepsinya Sosialisme Islam yang dia lekatkan dalam perjuangannya di Sarekat Islam (SI) melawan pemerintah kolonial. Dengan cara inilah Agama menjadi pemersatu rakyat untuk menentang penindasan yang mereka alami.
Ada yang juga menarik dihadirkan dalam film Kiri Hijau Kanan Merah itu selain menampilkan pemikiran dan perjuangan Munir. Hal itu diantaranya adalah menampilkan bahwa media musik sebagai alat perjuangan. Terlihat bagaimana musik-musik yang dihasilkan Iwan Fals bernada kritis mampu menggerakkan masyarakat untuk sadar akan penindasan sekaligus menggerakkan massa untuk ikut berjuang. Contohnya adalah Munir yang juga menggilai lagu-lagu Iwan Fals, sehingga musik-musik kritis itu pula lah yang juga andil dalam pemikiran Munir bergerak untuk ikut berjuang melawan penindasan. Selain itu, dihadirkan pula lagu-lagu yang terinspirasi perjuangan hingga pembunuhan Munir seperti yang dihasilkan band Efek Rumah Kaca dan D’Kill juga ikut menyuarakan tentang keadilan.
Dari upaya yang dilakukan para musisi itu saya jadi teringat dengan apa yang perjuangkan oleh Realisme Sosialis. Bagaimana seni yang berpihak pada rakyat, seni yang berangkat dari kenyataan hidup untuk perjuangan menuju masyarakat sejahtera tanpa adanya penindasan. Hal ini pun yang agaknya dilakukan Munir dalam setiap kerja-kerja advokasinya dalam ranah hukum. Dia mendedikasikan pengetahuan hukum yang dia dapat dari bangku kuliah untuk kepentingan Rakyat, yaitu hukum yang memihak rakyat kecil (kaum buruh) dan hukum yang membebaskan penindasan (anti penjajahan dan pro perdamaian).
*Penulis merupakan pengajar di IAI Tribakti Kediri, anggota Divisi Advokasi AJI Kediri, dan bergiat di Komunitas Lapak Diskusi