Oleh: Moh. Fikri Zulfikar*
Di suatu siang yang terik sekitar pukul 11.00 WIB, dua kakak beradik sedang duduk santai di rumah Bojong Gede. Seperti biasa, sang kakak yang sudah berusia 80-an tahun itu tengah menggunting-gunting koran, kebetulan saat itu Harian Kompas lah yang ada di tangannya dengan sosok perempuan pemetik teh tengah menjadi perhatiannya. Keintiman pembicaraan di tengah-tengah proses mengkliping itulah sosok Pramoedya Ananta Toer masih terlihat giat dalam upaya mengumpulkan berkas-berkas informasi tentang ke-Indonesiaan. Sekaligus kliping itu untuk menambah koleksi perpustakaan pribadinya yang sempat hangus karena dibakar militer saat dia mendekam di penjara Orde Baru.
Pertemuan antara Pram dan Koesalah Soebagyo Toer adiknya siang itulah, akhirnya diketahui awal mula bagaimana dia mulai menulis hingga akhirnya buku terutama novel-novelnya dikenal dunia. “Kediri” menjadi tonggak awal kekaryaannya dimulai. Dalam kisah Koesalah dalam bukunya Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali (2006:250-251) mengungkapkan bahwa buku pertama yang dia tulis bukanlah fiksi maupun esai-esai politik, namun buku harian tentang resep-resep tradisional, khasiat macam-macam tumbuhan. Karena menurut Pram waktu kecil dia suka sekali mencatat resep-resep itu.
Buku pertama yang dia tulis ketika kelas lima itu dikirimnya ke penerbit besar kala itu, yaitu Tan Koen Swie (TKS) di Kediri. Lantas kemanakah buku itu? Raib, tak diterbitkan maupun dikembalikan. Memang tidak sekali dua kali Pram malang dalam relasinya dengan penerbit, sehingga membuat karyanya tak jelas kemana. Seperti beberapa tulisannya yang pernah dimuat di harian Bintang Timur juga hilang di penerbit Jl Pecenongan, Jakarta hingga buku Mari Mengarang dan Sepuluh Kepala NICA juga tak jelas nasibnya di penerbit Balingka, Jakarta.
Sastrawan yang hidup di tiga rezim ini pun juga selalu bermasalah dengan pihak penguasa karena tulisan-tulisannya. Muhidin M. Dahlan dalam bukunya Ideologi Saya adalah Pramis (2016:4) mengatakan bahwa tulisan-tulisan Pram selalu seperti menantang siapapun yang hendak dia lawan. Karena baginya menulis adalah suatu perlawanan untuk memihak mereka yang tengah ditindas oleh kaum kuat. Sehingga ‘tidak mengagetkan’ jika dalam tiga rezim itu dia keluar masuk penjara akibat tulisan-tulisannya yang pedas.
Tercatat pada masa perang kemerdekaan karyanya tentang romantika para pejuang revolusi raib dirampas Marinir Belanda pada tahin 1947, hingga yang tersisa hanyalah Di Tepi Kali Bekasi yang bisa diselamatkannya. Di masa rezim Orde Lama pun bukunya berjudul Hoakiau di Indonesia (1960) juga harus raib dari peredaran karena tulisannya yang membahas warga Tionghoa di Indonesia. Karena karyanya dianggap menjual negaranya ke RRC itu lah, Pram pun harus merasakan dinginnya dinding penjara. Hingga rezim berganti Orde Baru pun nasib anak-anak ruhaninya pun tetap sama, yaitu dilarang, dibakar, hingga dirampas karena dianggap bermuatan Marxisme dan Leninisme.
Nama Pram besar bukan karena kiprahnya dengan Lekra. Sebelum dia bergabung di organisasi sayap kiri itu pun namanya sudah masuk dalam sastrawan Angkatan 45 karena produktifitasnya dalam menulis, terutama cerpen-cerpennya kerap dimuat di majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Pudjangga Baru, dan Indonesia. Ajip Rosidi dalam bukunya Lekra Bagian dari PKI (2015:157-158) menyebutkan bahwa Pram sudah familiar dengan penerbit Balai Pustaka, saat mudanya. Terlebih setelah keluar dari tahanan Belanda tahun 1947, dia bekerja di penerbit yang mengeluarkan nama-nama besar sastrawan Indonesia itu. Namanya semakin mentereng setelah dia berhasil memenangkan Sayembara Mengarang Roman di penerbit Balai Pustaka dengan romannya berjudul Perburuan.
Namun, berkat Lekra pun, nama Pram semakin santer terdengar terutama ketika kiprahnya dalam panggung politik kebudayaan. Namanya semakin ditakuti musuh-musuhnya ketika politik kebudayaan yang dia jalankan meruncingkan polemik antara Lekra dan Manikebu berlangsung. Terutama bagaimana dia memblejeti sastrawan besar dari kalangan Masyumi yang juga musuh PKI, yaitu Hamka di Koran Bintang Timur. Hamka habis di tangan Pram karena didakwa plagiasi Roman Magdalena karya Mustafa Lutfi El Manfaluthi. Hamka bungkam atas kritik-kritik Pram soal novelnya berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang sempat difilmkan itu. Muhiddin dalam bukunya Aku Mendakwa Hamka Plagiat (2011) menerangkan akibat polemik ini, Paus Sastra H.B. Jassin ikut membela Hamka dari serangan-serangan Lekra melalui pembelaannya bahwa Hamka tidak Plagiat, namun Hamka mengungkap kisahnya sendiri, pengalaman sendiri, dan permasalahan sendiri.
Jika umumnya Pram dikenal aktif dan menjadi bagian dari jajaran pimpinan Lekra dikarenakan sikapnya yang mendukung ideologi bersastra Lekra, yaitu Realisme Sosialis. Maka berbeda dengan pendapat Ajip Rosidi yang menyatakan bahwa Pram masuk Lekra akibat kedekatannya dengan A.S Dharta, Sekjen Lekra. Kedekatan itu muncul ditengarai karena Pram merasa berhutang budi saat dia dibantu oleh Dharta ketika mengalami kesulitan hidup. Karena saat sedang sulit-sulitnya setelah keluar dari Balai Pustaka dan karyanya tidak bisa menghidupi keluarganya, Dharta datang dengan membawa proyek penerjemahan karya-karya Gorky hingga diajaklah Pram ke Beijing, RRC untuk menghadiri peringatan hari meninggalnya pengarang besar Cina, Lu Hsun.
Pernyataan Ajip Rosidi mencoba menjawab hasil dari Disertasi Savitri Scherer yang dibukukan berjudul Pramoedya A. Toer Dari Budaya ke Politik 1950-1965. Ajip menilai bahwa berpalingnya Pram kearah Kiri bukan semata-mata karena ideologi Kiri yang dia imani, namun lebih pada situasi rumah tangganya yang pada waktu itu ikut menentukan langkah Pram ke Kiri. Menurut Ajip Rosidi Scherer hanya meneliti Pram dari tulisan-tulisannya, tetapi tidak dihubungkan dengan kesulitan Hidupnya. Terlebih data disertasi itu kurang lengkap karena ketika penelitian itu ditulis, Pram tengah berada di pengasingannya di Buru.
Terkait pandangan positif dan negatif atas sikap dan pemikiran Pram, Prof. Koh Young Hun dalam bukunya Pram Menggugat: Melacak Jejak Indonesia (2011:26) mengungkapkan bahwa tanggapan positif berasal dari kritikus yang lebih mementingkan dan menumpukan pertimbangannya pada karya Pram semata-mata. Sedangkan tanggapan negatif berasal dari kritikus yang memandang aspek kehidupan Pram menjelang meletusnya G-30-S. Berbicara tentang melihat pemikiran Pram melalui gambaran dalam karya-karyanya, Prof. Hun menganggap bahwa karya-karya Pram berhubungan erat dengan kehidupannya sendiri, sehingga dapat dikatakan bahwa karyanya merupakan hasil seleksi pengalaman hidup yang pernah ditempuhnya.
Prof. Hun menambahkan bahwa kemanusian merupakan satu dasar pemikiran Pram, karena sebagian besar karya sastra yang dihasilkannya mengandung ciri-ciri keberpihakannya pada kemanusian sebagai landasan penciptaannya. Mencermati kehidupan Pram yang selalu didampingi penderitaan manusia, entah yang dia alami atau dialami oleh orang-orang terdekatnya, wajar jika Pram membawa ciri-ciri kemanusiaan yang dihadirkan dari gejolak penderitaan itu ke dalam karya-karyanya. Dari sinilah, dapat dikatakan bahwa pemikiran Pram memiliki kecondongan pada ideologi humanisme yang tertihat dari karya-karyanya. Namun kembali lagi, Pram bukanlah buku yang habis dibaca dalam sekali duduk. Membaca Pram, selalu tidak bisa tuntas dan akan selalu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru yang melingkupinya. Entah pertanyaan terhadap karya-karyanya atau masalah kehidupannya.
*Penulis merupakan pengajar di IAI Tribakti Kediri, anggota Divisi Advokasi AJI Kediri, dan bergiat di Komunitas Lapak Diskusi