Njoto, Politikus yang Aktif Kenalkan Sastra Dunia

Oleh: Moh. Fikri Zulfikar*

Memahami Njoto selalu tak bisa lepas dari aktifitas politiknya yang telah membawanya menjadi bagian dari petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) hingga Menteri Negara di masa pemerintahan Soekarno. Dia yang memiliki posisi strategis di partai komunis itu pun dikenal sebagai politikus ulung dengan menjabat sebagai Wakil Ketua CC PKI. Tak hanya itu, di partai merah itulah dia juga bertanggung jawab atas agitasi dan propaganda partai.

Di Mata Soekarno, Njoto juga merupakan orang penting dan paham akan perpolitikan Indonesia dalam menggerakaan hingga mengorganisir massa. Tak mengherankan saat Soekarno membangun kabinet Dwikora, Njoto menempati tempat strategis sebagai Menteri Negara yang bertanggung jawab untuk pengawasan reformasi tanah. Dari jabatan strategisnya itulah, kebijakan landreform seperti Undang-Undang Agraria diperjuangkan untuk kesejahteraan kaum tani.

Dari peran politiknya bersama PKI itulah, Njoto ikut digulung roda sejarah. Pasca peristiwa September 1965, Njoto ikut ditangkap dan dijadikan sebagai tahanan politik (Tapol). Dia dianggap sebagai bagian dari dalang terjadinya eksekusi dewan jendral di lubang buaya. Sehingga tanggal 11 Maret 1966 seusai sidang kabinet, Njoto diculik dan sempat ditahan di Rutan Salemba hingga akhirnya dia dikabarkan telah dieksekusi di salah satu kepulauan Seribu di Teluk Jakarta.

Njoto yang dikenal sebagai politikus ulung ternyata memiliki jiwa seni sastra yang tinggi. Karena peran politiknya itulah Njoto jarang diperbincangkan dalam pembahasan tentang seni dan sastra di Indonesia. Di balik sosok politikus yang lihai itulah, Njoto juga memiliki ketertarikan yang besar akan dunia pers hingga sastra yang di zamannya turut mengangkat namanya disandingkan sebagai sastrawan sekaligus seniman karena dia juga dikenal sebagai pemain saksofon.

Njoto terjun di dunia pers pertama kali pada tahun 1951 ketika dia ditunjuk sebagai staf redaksi Bintang Merah bersama Aidit, Pardede, dan Lukman. Di tahun 1953, Njoto mengambil alih kepemimpinan Harian Rakjat, mengggantikan sang pendiri Siauw Giok Tjan. Di Harian Rakjat inilah banyak tulisan-tulisan Njoto diterbitkan. Tak hanya tulisan pamflet bersifat keras yang membahas tentang perpolitikan Indonesia, dia juga kerap menulis karya sastra yang lembut dengan menggunakan nama pena Iramani.

Keterlibatan dalam Dunia Sastra

Bersama dengan D.N. Aidit, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta, Njoto mendirikan lembaga kebudayaan terbesar di Indonesia periode 1950-1965. Lembaga yang dikenal sebagai Lembaga Kebudayaan Rekyat (Lekra) ini pun didirikan atas inisiatif keempat tokoh tersebut pada 17 Agustus 1950. Walaupun di awal pendirian Lekra, sekretaris jendral dipegang oleh A.S. Dharta, peran Njoto sebagai bagian dari pimpinan pusat Lekra tak kalah vital, terutama dalam membangun organisasi berbasis massa. Atas kerja kerasnya itulah Lekra mampu menjadi lembaga kebudayaan terbesar di Indonesia pada saat itu. Dengan jumlah anggota yang diperkirakan sampai 500 ribu anggota yang tersebar sampai pelosok desa di seluruh Indonesia.

Walaupun menjadi petinggi lembaga, Njoto yang memiliki ketertarikan yang besar dalam dunia sastra pun banyak menghasilkan karya sastra. Karya yang dia hasilkan tak hanya dalam puisi saja, namun juga menulis esai hingga kritik sastra. Jejak aktivitas sastranya pun terekam jelas di koran yang dia pimpin, Harian Rakjat. Di tangan Njoto, koran yang memiliki afiliasi dengan Partai Komunis Indonesia itupun setiap minggunya diselipi halaman khusus yang membahas tentang isu-isu seni, sastra, dan kebudayaan. Melalui rubrik Kebudayaan, setiap minggunya bisa dilihat karangan-karangan penulis mulai dari puisi, cerpen, hingga kritik sastra hadir di rubrik tersebut. Dari genggap-gempitanya rubrik itu, tak jarang Njoto juga mengisi rubrik itu dengan karya-karya sastranya menggunakan nama pena Iramani.

Dari rubrik Kebudayaan Harian Rakjat itu terpantau puisi-puisi karangan Nyoto diantaranya seperti puisinya yang bertemakan tentang Negara Tirai Bambu. Puisi yang menggambarkan perjalannya ketika mengunjungi Negara komunis China itu pun menghasilkan empat puisi politiknya berjudul Jenan, Jangtse, Sjanghai, dan Tjatatan Peking. Tak hanya itu, Njoto yang menggunakan nama pena Iramani pun juga menulis puisi tentang kekagumannya terhadap perjuangan Douwes Dekker atau Multatuli yang memiliki peran membukakan mata pribumi akan penderitaan kolonialisme. Puisi itu pun berjudul Kepada Multatuli.

Njoto juga dikenal sebagai pecinta sastra, terutama sastra Uni Soviet (Rusia) dengan membaca karya Nikolai Gogol hingga Dostoevsky. Karena kecintaannya dengan sastra Rusia itulah Harian Rakjat kerap menerbitkan puisi-puisi sastrawan Rusia yang diterjemahankan sendiri. Beberapa sastrawan besar yang pernah karyanya diterjemahkan Njoto diantaranya puisi karya Maxim Gorki berjudul Petani Wanjka hingga puisi karya Wladimir Majakovski berjudul Hari Pertama. Perhatiannya akan dunia kepenyairan itu pun juga membuat Njoto sebagai salah satu penerjemah yang memperkenalkan puisi-puisi tokoh Komunis dunia, diantaranya puisi yang ditulis Karl Marx, Pablo Neruda, hingga Mao Tse Tung ke Indonesia.

Di dunia sastra, Njoto juga tak hanya produktif dalam menulis sajak hingga menerjemahkan karya-karya sastra dunia. Dalam rubrik Kebudayaan di Harian Rakjat itu pun dia juga kerap menulis kritik sastra yang kebanyakan kerap menyoroti ekosistem sastra di Indonesia. Beberapa kritiknya diantaranya membahas tentang kepenulisan sastrawan Sitor Situmorang hingga tema-tema tulisan dari sastrawan Utuy Tatang Sontani. Tak hanya itu, kritik sastranya juga kerap membahas kondisi seni sastra rakyat di Indonesia yang menurutnya harus dimajukan dan terus didorong untuk kepentingan rakyat. Tulisan itu diantaranya berjudul Surat Perjalanan yang menerangkan tentang perjalannya mengelilingi kota-kota di Jawa Timur sambil melihat langsung kondisi seni sastra di kota yang dia kunjungi.

Untuk memperkenalkan sastrawan besar dunia dengan tulisan-tulisannya yang mampu menggugah perasaan untuk ikut berjuang atas nama rakyat, Njoto juga menulis biografi para sastrawan dan seniman besar dunia itu. Melalui tulisan biografi itulah, Njoto seakan-akan menginginkan agar pembacanya mengenal sosok tauladan dunia terutama dari tokoh-tokoh Negara Komunis yang mampu memberi kontribusi terhadap bangsa dan negaranya. Biografi yang pernah dia tulis di rubrik Kebudayaan Harian Rakjat itu diantaranya adalah tentang Pablo Neruda, Honoré de Balzac, Pusjkin, Nikolai Gogol, Boris Pasternak, hingga Beethoven.

Dari kiprahnya itulah, sekiranya Njoto adalah politikus yang selain keras dalam soal ideologi, dia juga memiliki kelembutan dalam perhatiannya dalam dunia sastra. Melalui karya-karya sekaligus aktivitasnya di bidang sastra itulah, memang layak jika Njoto disandingkan dengan nama besar sastrawan “kiri” seperti Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, Rukiah Kertapati, Sugiarti Siswadi, hingga Bakri Siregar. Namun sayang, karena aktivitasnya yang lebih dikenal di dunia perpolitikan itulah membuat Njoto hanya dianggap “penjahat politik” karena menjadi bagian pimpinan pusat PKI yang dituduh ikut dalam persekutuan jahat eksekusi para jendral di lubang buaya pada 30 September 1965. Karena itulah, karya-karyanya di masa Orde Baru (Orba) dianggap bacaan terlarang hingga pemberangusan atas karya-karyanya pun dihalalkan. Akibatnya, kini cukup sulit menemukan karya-karya Njoto yang menggambarkan bahwa dia juga sebagai sastrawan periode 1960-an.

*Penulis merupakan pengajar di IAI Tribakti Kediri, anggota Divisi Advokasi AJI Kediri, dan bergiat di Komunitas Lapak Diskusi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Open chat
Hai! Ada yang bisa kita bantu?