Oleh: Septian Adi Kurniawan*
Dunia imajinasi anak amat luas dan tak pernah sesederhana yang dibayangkan orang dewasa. Dunia itu juga yang membuat para penulis bersilaju menjadikannya sebagai topik kepenulisan, satu di antaranya yaitu Okky Madasari. Okky Madasari merupakan salah seorang penulis ternama Indonesia yang menekuni dunia antropologi sastra kontemporer dengan novel-novelnya yang fenomenal.
Menjelang akhir tahun 2018, Okky Madasari membangkitkan kembali gairah dunia antropologi sastra melalui serial novel anak dengan novelnya yang berjudul “Mata di Tanah Melus”, “Mata dan Rahasia Pulau Gapi”, serta “Mata dan Manusia Laut”. Serial terakhir ditutup “Mata dan Nyala Api Purba” yang terbit Juli 2021. Pada tahun-tahun sebelumnya, karya-karya Okky Madasari sangat kental dan sarat akan kritik sosial sebagaimana tiga novel karyanya, yaitu Entrok (2010), 86 (2011), dan Pasung Jiwa (2013). Okky Madasari juga merupakan salah satu penulis novel yang meraih penghargaan Sastra Katulistiwa pada tahun 2012 melalui salah satu novel tentang kritik sosialnya yang berjudul “Maryam”.
Novel-novel Okky Madasari memiliki karakteristik ‘rasa autentik’ dan tentunya sangat berbeda dengan novel-novel pada umumnya, terlebih pada novel Semesta Mata. Dalam acara bedah novel yang berlangsung di Kafe Pustaka Universitas Negeri Malang sekitar tahun 2018, Okky Madasari mengungkapkan perlunya memperkenalkan budaya yang ada di wilayah Indonesia bagian timur. Isu-isu yang menjadi inspirasi baginya adalah isu-isu tentang kebudayaan dan sekelumit permasalahan tentang lingkup sosial, ekonomi, dan gender. Dalam kepenulisannya, bahkan Okky Madasari harus terjun ke lapangan untuk mendapatkan kompleksitas kekayaan gagasan yang dituangkan dalam bentuk novel.
Novel serial Semesta Mata memberikan penguatan karakter tokoh utama bernama Mata dengan berbagai macam keunikan karakter yang dimiliki. Selain itu, novel-novel ini juga diangkat dengan berbasis kearifan lokal (local wisdom) yang dipadukan dengan berbagai unsur mitos di wilayah Indonesia bagian timur. Wilayah-wilayah tersebut meliputi Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Ternate Provinsi Maluku Utara, hingga Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan. Okky Madasari juga memberikan kebaruan ilmu pengetahuan yang diusung dalam novel-novelnya sebagai pengembangan dari literasi anak terkait sejarah, sosiologi, geografi, dan antropologi.
Wujud Lokalitas Budaya dalam Novel
Banyak hal baru bisa dipelajari anak-anak –tanpa harus jauh-jauh ke tempat aslinya- melalui novel serial Semesta Mata. Tentunya, hal ini bagaikan wahana permainan di tempat liburan yang bisa dituangkan dalam dunia imajinasi anak sendiri tanpa harus melibatkan orang dewasa. Setidaknya ada 3 wujud lokalitas budaya yang muncul dalam novel Semesta Mata sebagai wahana pengembangan dunia imjiner anak, yaitu wujud budaya sebagai sistem gagasan, sistem aktivitas, dan sistem artefak.
Berdasarkan hasil pembacaan, ada lima jenis sistem gagasan yang menunjukkan wujud budaya novel Semesta Mata. Pertama, ada nama manusia sebagai tetua adat seperti Ema Nain, Maun Iso, dan Sanro, serta nama dewa seperti Bei Nei atau biasa disebut sebagai Dewa Buaya oleh masyarakat suku Melus dan Laka Lorak Mesak yang dianggap sebagai putri dewa yang mendiami wilayah Gunung Lakaan di Kabupaten Belu. Kedua, ada norma masyarakat setempat seperti masyarakat suku Bajo yang tidak diperbolehkan melakukan aktivitas abalan –melaut atau menangkap ikan pada saat bulan purnama- karena dipercaya tidak akan mendapatkan hasil tangkapan yang sesuai dengan harapan.
Selanjutnya, pelaksanaan upacara adat Duata dalam novel Mata dan Manusia Laut yang dapat dimaknai sebagai bentuk tindakan penyelamatan secara metafisik dengan makhluk-makhluk gaib lainnya untuk memohon kesembuhan dan meminta keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga, ada sistem gagasan berupa cerita berupa legenda, dongeng, dan cerita sejarah sebagaimana kisah perjuangan Sultan Baabullah ketika mengusir penjajah Portugis dari Pulau Gapi. Keempat, ada kepercayaan terhadap makhluk hidup dan benda-benda mati, seperti manusia yang memiliki hati bersih akan mampu melihat buaya putih Danau Tolire, sebagaimana dikisahkan dalam novel Mata dan Rahasia Pulau Gapi serta Lummu atau lumba-lumba yang menjadi kepercayaan masyarakat Sama sebagai utusan Dewa Laut dalam novel Mata dan Manusia Laut. Kelima, ada sistem gagasan pandangan hidup kekuasaan, identitas, sikap hidup, dan cita-cita.
Wujud budaya yang kedua dalam novel Semesta Mata karya Okky Madasari yakni sebagai sistem aktivitas. Penulis menemukan setidaknya ada tiga jenis sistem aktivitas yang menunjukkan wujud budaya dalam novel Semesta Mata. Pertama, yakni sistem aktivitas hubungan manusia dengan Tuhan seperti kegiatan upacara adat masuk wilayah Belu dan kebiasaan berdoa yang dilakukan oleh Ema Nain sebagai sebagai penjaga jiwa bangsa Melus. Kedua, aktivitas hubungan manusia dengan manusia meliputi interaksi individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan aktivitas kelompok dengan kelompok seperti antara kelompok penari Soya-soya dan kelompok masyarakat sebagai penikmat budaya tarian. Ketiga, aktivitas hubungan manusia dengan alam seperti hewan, tumbuhan, dan benda mati. Salah satu contoh bentuk interaksi ini seperti interaksi antara orang suku Bajo dengan lumba-luma (Lummu). Masyarakat Bajo menganggap lumba-lumba sebagai hewan yang membawa rezeki berlimpah karena biasanya lumba-lumba akan membawa para nelayan menuju tempat yang banyak ikannya. Selain itu, lumba-lumba juga bisa memberikan pertanda bahaya jika kapal para nelayan didorong oleh lumba-lumba tersebut seolah-olah meminta para nelayan untuk kembali pulang.
Terakhir, wujud budaya sebagai sistem artefak yang ditemukan penulis dipaparkan dalam lima jenis peninggalan. Pertama, sistem artefak bangunan seperti Benteng Hol Hara Ranu Hitu (Benteng Tujuh Lapis), Benteng Kalamata Ternate, Benteng Oranje Belanda, Istana Kesultanan Ternate, dan Jembatan Pelangi di Mola. Kedua, sistem artefak pakaian adat seperti pakaian adat suku Melus berasal dari kain tenun yang cukup lebar dan dikenakan dengan cara disilangkan di bagian bahu bagi kaum laki-laki, sedangkan bagi kaum perempuan, pakaian yang dikenakan juga berasal dari kain tenun untuk bawahan dan bagian atas menggunakan jenis pakaian semacam kutang. Ketiga, alat transportasi seperti kereta Sultan Ternate, sampan, dan katinting. Keempat, ada peralatan sehari-hari seperti kedo-kedo dan rumpon yang digunakan nelayan suku Bajo di daerah perkampungan Sama untuk menangkap ikan. Kelima, makanan khas seperti halnya parende yang disajikan dalam bentuk sup (makanan berkuah dan berkaldu) yang rasanya terdiri atas dua macam, yaitu rasa segar dan sedikit asam. Ada juga perangi yang menjadi makanan khas daerah Wakatobi. Makanan ini disebutkan dalam serial novel Mata dan Manusia Laut sebagai makanan yang dibuat dengan menggunakan ikan kakatua sebagai bahan utamanya disertai dengan garam dan air jeruk.
Pelbagai sistem wujud budaya yang disajikan Okky Madasari dalam novel serial Mata menjadi hidangan yang menarik dan menyehatkan tentunya bagi anak-anak untuk mengembangkan dunia imajinasinya. Petualangan ini sekaligus memberikan banyak wawasan baru tidak hanya bagi anak-anak semata, tetapi juga kebanyakan orang dewasa. Bentangan budaya khas Indonesia Timur yang sulit dijamah oleh kebanyakan masyarakat Indonesia seolah-olah menyegarkan dahaga siapa pun yang membaca perihal entitas kebudayaan Indonesia. Tentunya, hal ini juga didukung oleh kemasan ‘wahana liburan edukatif’ yang diramu dan dikemas Okky Madasari dalam narasi-narasinya yang memikat dunia imajiner anak-anak.
*Penulis merupakan pengajar Bahasa Indonesia di MAN 1 Kota Malang dan Pendiri Taman Baca Masyarakat (TBM) Anak “Jemari Riang” di Kota Batu.