Sejarah 13 dalam Laut dan Asmara Jati: Mengenang 13 Aktivis 1998 dalam Laut Bercerita
Oleh: Meananing Windi A*
Sejarah 13. Mungkin banyak yang bertanya-tanya mengenai maksud dari judul tersebut. Apa itu 13? Yups. Seperti yang dijelaskan di sub judul di atas. 13 melambangkan 13 aktivis yang berkaitan dengan tahun 1998. Ada apa mereka? Siapa mereka? dan pertanyaan-pertanyaan lain mungkin bermunculan setelahnya. Mari kita bahas perlahan.
Tulisan ini muncul setelah penulis membaca Novel berjudul Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Bagi yang belum pernah membaca novel ini pasti mengira bahwa novel ini mengisahkan sebuah lautan luas yang memiliki kisah di dalamnya atau asal-usul sebuah laut tercipta. Yak, jujur itulah yang terlintas pertama kali di pikiran penulis ketika mengetahui judul ini. Tapi, ternyata salah besar pembaca-pembaca sekalian. Laut Bercerita adalah salah satu novel sejarah yang membahas mengenai kisah dari salah satu tokohnya, yakni seorang aktivis bernama Laut (yang diketahui dalam novel tersebut memiliki nama lengkap Biru Laut). Kenapa dikatakan novel sejarah? Karena dalam novel tersebut mengisahkan secara rinci dan apa adanya tentang sebuah kejadian yang benar-benar terjadi pada tahun 1998, yakni hilangnya 13 aktivis yang hingga saat ini belum diketahui secara pasti keberadaannya.
Ada dua hal yang menarik perhatian penulis selama membaca novel ini, yakni pengisahan yang begitu bagus dan hubungan dengan sejarah yang terjadi pada tahun 1998. Sebelum penulis membahas tentang sejarah yang diceritakan dalam novel ini, untuk memberi gambaran singkat, penulis akan memberikan gambaran bagaimana Leila S. Chudori sang penulis novel mengisahkan sejarah yang dia angkat dalam Laut Bercerita ini.
Pengisahan yang Epik
Sebelum membahas lebih dalam mengenai pengisahan, penulis akan memberikan gambaran bahwa kisah yang ada di dalam novel ini terbagi atas dua sudut pandang, yakni sudut pandang Biru Laut (tokoh utama) dan sudut pandang Asmara Jati (Adik kandung Biru Laut). Di awal cerita, suguhan awal dari Leila sudah bernuansa kesedihan. Bagaimana tidak? Awal cerita novel ini berlatar di dasar laut dengan Laut yang sudah posisi dibunuh dengan cara ditenggelamkan ke dasar laut dengan kaki yang diberi pemberat. Bagaimana? Sudah miris bukan? Namun, meski sudah mengetahui bahwa novel ini akan banyak menguras air mata, penulis justru semakin penasaran mendalami Laut.
Setelah diberikan nuansa lembut nan menyayat hati, beralih pada bagian selanjutnya ketika Laut bersama teman aktivis-aktivisnya melakukan aksi Tanam Jagung di Blangguan, Jawa Timur. Penggambaran suasana mencekam ketika mereka (para aktivis) datang di desa yang dituju begitu terasa. Mulai dari mereka yang baru saja datang ke desa tersebut hingga harus bersembunyi ke salah satu rumah warga sebelum melaksanakan aksi mereka. Suasana semakin dibuat mencekam ketika aparat melakukan pemeriksaan ke dalam rumah-rumah warga untuk mencari para aktivis. Meski tidak ada yang tertangkap karena taktik salah satu warga untuk mengalihkan perhatian aparat dan hujan lebat yang mengguyur desa, namun aksi tersebut tidak jadi dilaksanakan akibat aparat sudah “mencium” aksi yang akan dilaksanakan.
Selain penggambaran yang lembut dengan begitu halus, Leila memberikan gambaran kekejaman yang begitu memuakkan dan membuat penulis berpikir “Ada ya orang yang tidak memiliki hati seperti itu?” Kekejaman yang paling mengena adalah ketika Laut bersama aktivis lain, yakni Sunu, Alex, Daniel, Julius, Naratama ditahan di 6 sel di markas Elang. Di dalam markas tersebut, keenam aktivis tersebut secara bergantian disiksa dengan tidak berperikemanusiaan. Bagaimana tidak? Seseorang disetrum selama beberapa jam, dipaksa tidur di atas balok es dengan busana yang minim, hingga penyiksaan-penyiksaan lain hanya untuk membungkam mulut para aktivis tersebut. Yup, membungkam. Itu adalah ungkapan yang paling tepat atas tindakan pemimpin kala itu.
Pengisahan demi pengisahan disuguhkan secara rapi dalam kisah ini. Meski dikisahkan dalam latar yang berkelanjutan namun dengan berpindah-pindah, namun itu adalah hal yang menarik penulis untuk melanjutkan membaca kisah di dalamnya, merajut setiap kisahnya. Setelah Laut mengisahkan dari sudut pandangnya, lalu dipertengahan novel, Leila mengubahnya ke sudut pandang Asmara Jati, Adik kandung Laut. Berbeda dengan karakter Laut yang akan berusaha sekuat jiwa dan raga untuk NKRI, karakter Asmara ini (awalnya) sangat acuh terhadap aksi-aksi yang dilakukan oleh kakaknya. Setiap Laut hendak melakukan aksi bersama teman-temannya, Asmara selalu mencurigai dan mewanti-wanti kakaknya. Oleh karena itulah, Laut tidak pernah bercerita kepada Asmara bahkan Bapak dan Ibuknya ketika dia akan melakukan aksi.
Pada bagian akhir, di bagian Asmara Jati, banyak sekali bagian-bagian yang membuat air mata terus menerus mengalir. Mulai dari ketika akhirnya Laut benar-benar menghilang tanpa tahu kabar. Pada masa tersebut, Asmara sebagai anak yang percaya akan kakaknya yang tidak akan kembali lagi sangat berkebalikan dengan orang tua Laut, Bapak dan Ibuk. Kedua orang tua Laut selalu membuat suasana seakan Laut masih hidup, mulai dari Bapak yang masih selalu membersihkan buku-buku milih Laut, Bapak yang selalu menyiapkan piring untuk Laut (ketika tradisi makan bersama di akhir pecan), hingga Ibuk yang masih memasakkan masakan kesukaan Laut. Hal tersebut berjalan lebih kurang sembilan tahun, mulai dari hilangnya Laut tahun 1998 hingga tahun 2007. Sungguh, dalam pengisahan-pengisahan akhir, penulis tidak ada jeda untuk berhenti untuk menangis.
Sejarah yang terwakilkan (hilangnya 13 aktivis)
Setelah menyelami kisah yang ditungkan dalam satu buku dan (ternyata) sudah ditayangkan dalam bentuk film ini, penulis langsung berselancar mencari sejarah yang terjadi pada tahun 1998, terutama hilangnya 13 aktivis yang belum diketahui hingga sekarang. (Jujur) sebagai pembaca yang lebih suka dengan genre detective thriller dan kurang terlalu suka dengan berbau sejarah, penulis dibuat penasaran dengan sejarah yang dikemas dalam novel ini. Mari kita bahas.
Mulai dari tempat-tempat yang tertuang dalam novel merupakan tempat-tempat yang memang benar-benar ada, seperti Blangguan, Ngawi, Rumah Susun Klender, Jakarta, hingga Pulau Seribu. Tidak hanya tempatnya yang benar-benar ada, beberapa literatur menjelaskan bahwa aksi-aksi yang dilakukan oleh aktivis dalam novel tersebut benar-benar pernah terjadi, seperti aksi Tanam Jagung yang dilakukan di Ngawi tahun 1993.
Selain tempat dan aksi-aksi yang dilakukan oleh para aktivis pada tahun tersebut, satu hal yang paling membuat penasaran dari novel ini, yakni tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh yang ada dalam novel ini memang diketahui adalah nama samaran, namun mereka sebenarnya benar-benar ada dan kenyataan terdapat 13 aktivis yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya itu memang benar-benar ada. Selain 13 aktivis yang hilang, terdapat pula beberapa tokoh yang diculik paksa namun dipulangkan pada tahun 1998.
Dilansir dari salah satu portal online, beberapa nama-nama aktivis yang diculik paksa pada masa-masa tersebut, yakni Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faizol Reza, Rahardjo Waluyo Jati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto, Andi Arief, Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ucok Munandar Siahaan, Hendra Kambali, Yadin Muhidin, Abdun Nasser, dan Ismail. Untuk aktivis bernama Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faizol Reza, Rahardjo Waluyo Jati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto, dan Andi Arief dipulangkan atau dilepaskan, sedangkan 13 aktivis, yakni Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ucok Munandar Siahaan, Hendra Kambali, Yadin Muhidin, Abdun Nasser, dan Ismail masih hilang hingga saat ini.
Leila sendiri mendapat kesempatan emas untuk mewawancarai salah satu aktivis yang dipulangkan yang juga berada di sel 6 bersama dengan orang yang dikisahkan sebagai tokoh Laut, yakni Nezar Patria. Menurut penulis, Nezar Patria adalah orang yang digambarkan dengan tokoh bernama Alex karena pada novel tersebut tokoh Alex adalah aktivis pertama yang berani mengungkap kekejian yang dia alami bersama teman-temannya di markas yang dinamai markas Elang oleh Leila. Selain itu, Alex-lah yang masih berupaya mengungkap keberadaan 13 kawannya yang hilang.
Selain Nezar Patria, terdapat salah satu tokoh yang diceritakan Laut. Ya. Dia lebih banyak dikisahkan oleh Laut, yakni tokoh bernama Mas Gala. Dalam pengisahan Laut, dia bercerita bahwa dirinya dengan dengan tokoh ini. Tokoh yang dikisahkan selalu memberikan kedamaian kepada Laut ketika Laut berada di jalan yang sulit. Dan, yang menjadi semakin mengena adalah Mas Gala dijuluki sebagai sang penyair oleh Laut, yang jika diruntut sejarah, salah satu penyair yang ikut hilang bersama 12 aktivis lainnya adalah Wiji Thukul yang kita ketahui bersama dia adalah penyair legendaris pada zamannya. Sungguh, Kisah yang sangat Menarik!
*Penulis merupakan pengajar Bahasa Indonesia di SMAN 3 Malang