Menyelami Tokoh-Tokoh Abnormal dalam Novel Karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Oleh: Fauzia Rahma*

Menelisik soal kesehatan mental yang saat ini sering diperbincangankan, tahukah jika gangguan mental atau psikologis yang sering disebut-sebut tersebut masuk dalam kategori psikologi abnormal? Kondisi itu juga dapat dijumpai dalam karya sastra yang mengungkap bentuk-bentuk ketidaknormalan. Dalam hal ini, karya sastra dipandang sebagai fenomena psikologis sebab menampilkan aspek kejiwaan yang digambarkan melalui tokoh cerita. Hal itu tidak lepas dari keterkaitan antara sastra dan psikologis yang saling melengkapi dalam menunjukkan proses cipta karya berdasarkan perilaku tokoh di dalamnya.

Fenomena psikologis yang mengarah pada bentuk ketidaknormalan dalam karya sastra memberikan pengaruh terhadap cara pandang seseorang dalam memahami tingkah laku berbeda dari orang-orang pada umumnya, misalnya cerita dalam novel yang mampu menjadi objek strategis dalam mengungkap fenomena psikologis yang saat ini juga menjadi pembahasan setelah pandemi, seperti munculnya trauma hingga kecemasan. Dalam hal ini, ketidaknormalan dapat memengaruhi pola pikir dalam memaknai bentuk abnormalitas tersebut. Perilaku abnormalitas pada novel menunjukkan gambaran hidup secara realistis melalui tokoh sebagai unsur utama. Hal tersebut selaras dengan ungkapan Albertine Minderop, pakar Psikologi Sastra menyatakan bahwa karya fiksi psikologis dapat digunakan untuk menjelaskan isi novel terkait dengan spiritual, emosional, hingga mental tokoh dengan cara lebih banyak mengkaji tentang perwatakan. Oleh karena itu, bentuk-bentuk abnormalitas dapat dilihat melalui tokoh dan perwatakannya.

Bentuk abnormalitas yang tergambar dalam cerita dapat dipengaruhi oleh latar belakang peristiwa masa lalu yang berdampak buruk terhadap penderitanya. Dalam hal ini, memori masa lalu dapat mengakibatkan tingkah laku tokoh menjadi tidak normal akibat dari tekanan jiwa. Oleh karena itu, setiap gambaran perilaku tokoh menjadi penting untuk diperhatikan dalam memaknai gejala-gejala psikologis dalam novel. Novel memiliki keunggulan dari segi penyampaian cerita yang cenderung lebih kompleks. Novel juga dapat menjadi renungan inspiratif sehingga perannya tidak hanya sebagai hiburan, namun juga dapat memberikan edukasi soal gelaja-gejala psikologis yang tergambar dalam karya-karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie.

Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie merupakan pengarang Indonesia yang berprestasi terutama dalam hal cipta karya sastra. Karya yang pernah ditulisnya berupa novel dengan genre fiksi umum, fiksi remaja, fiksi fantasi, dan fantasi tinggi. Obsesinya untuk menjadi penulis anak memengaruhi gaya penulisannya saat ini yang cenderung mengungkap perilaku anak sebagai tokoh utama. Melalui beberapa novel yang ia tulis terdapat empat judul yang mengarah pada abnormalitas tokoh. Dua dari empat judul tersebut menjadi novel unggulan yang meraih penghargaan.

Pertama, novel berjudul Di Tanah Lada meraih juara II pada sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2014. Novel tersebut diterbitkan pertama kali bulan Agustus tahun 2015 yang memiliki keunikan pada tokoh bernama Ava. Ava adalah seorang anak yang memiliki Papa dengan kepribadian keras, kasar, dan tidak ideal. Hal itu menjadikan cara pandang anak dalam melihat seorang Papa menjadi negatif. Lebih dari itu, tokoh yang berperan sebagai anak berusia enam tahun tersebut selalu merasa takut terhadap sosok Papa di mana pun ia berada. Hal itu dapat diamati melalui salah satu kutipan berikut.

Seperti ada hantu yang menggentayangi seluruh bagian rumahku. (Kata orang, hantu membuat ruangan jadi dingin.) Hanya saja, di dalam sini, hantunya hidup. Hidup, berbadan besar, dan sangat menakutkan. Nama hantunya Papa.

Keberadaan Papa sebagai orang tua seharusnya mampu memberikan rasa aman dan nyaman kepada anaknya. Akan tetapi, hal itu justru berbanding terbalik dengan kondisi keluarga Ava. Tokoh Ava menganggap sosok Papa sebagai hantu yang begitu menakutkan. Ia merasa tidak aman jika Papanya ada di rumah. Ava memiliki trauma terhadap sosok Papa hingga merasa selalu dibayang-bayangi oleh ketakutan bahkan ketika berada di dalam rumahnya sendiri. Kondisi tersebut menjadikan jiwanya tertekan dan menimbulkan perilaku tidak normal. Ketidaknormalan Ava disebut sebagai abnormalitas tokoh yang diwujudkan dengan anggapan bahwa seorang Papa selalu memiliki perangai buruk yang dapat membuat anak merasa takut dan dapat menciptakan persepsi buruk terhadap apa pun yang dilakukan oleh seorang Papa di mana pun ia berada.

Kedua, novel berjudul White Wedding merupakan novel yang membahas tentang seorang gadis penderita albino bernama Elphira. Novel tersebut diterbitkan pertama kali bulan September tahun 2015 yang memiliki keunikan tingkah laku dari seorang gadis albino yang mengalami penolakan dari Ibunya akibat ketidaknormalan pada dirinya sehingga menjadikannya trauma terhadap warna putih. Selain itu, banyak peristiwa buruk yang berkaitan dengan warna putih seperti yang terlihat dari kutipan berikut.

“Sierra selalu bilang warna putih itu warna Tuhan, kan?” kataku. “Tapi, warna ini hampir membunuh Papa, membuat Ibu gila, dan menghancurkan hidupku secara keseluruhan. Warna ini adalah lambang dari semua hal buruk yang terjadi dalam hidupku. Bagaimana mungkin ini disebut warna Tuhan?

Ketiga, novel berjudul Jakarta Sebelum Pagi merupakan karya fiksi terbaik Indonesia 2016 versi majalah Rolling Stone. Novel tersebut diterbitkan pertama kali bulan Mei tahun 2016. Keunikan novel ini mengarah pada peran tokoh Abel yang mengalami kejadian buruk di masa kecil sehingga mengakibatkan fobia berkempanjangan sampai ia tumbuh dewasa. Perilaku tersebut dapat diamati melalui kutipan berikut.

“Waktu kamu mendengar suara … atau bersentuhan dengan orang,” kataku, pelan, memandangi tangan yang kutarik dan berharap punya mata Cyclops supaya bisa melubanginya dengan laser, “apa rasanya? Apa yang membuat kamu takut?”

Pertanyaanku menggantung tanpa jawaban selama beberapa detik yang terasa sangat panjang. Aku bisa mendengar suara debaran jantungku yang dihunjam perasaan bersalah, dan suara Abel yang mengatur napas setelah melewati panik akibat perbuatanku. Dan di sela-sela semua itu, akhirnya dia berkata, “Rasanya,” dia menarik napas panjang, matanya semakin jauh menghindariku, “seperti ada yang menodongkan pistol ke kepala saya. Rasanya, orang-orang di sekitar saya tinggal berupa potongan-potongan tubuh, dan saya akan jadi potongan berikutnya. 

Perasaan yang dialami tokoh Abel menunjukkan bahwa salah satu gejala yang timbul dari penderita fobia berupa ketakutan yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Hal itu merupakan salah satu ciri yang menandai gejala fobia seperti yang dialami Abel ketika mendapatkan sentuhan dari seseorang, maka tidak hanya menimbulkan kepanikan, tetapi juga akan lebih aktif menghindari objek atau bertahan dengan ketakutan yang dapat menimbulkan berbagai bentuk reaksi.

Keempat, novel berjudul San Francisco merupakan cerita yang membahas tentang persoalan cinta atau love story. Novel tersebut kemudian diterbitkan pertama kali bulan Juli tahun 2016. Bentuk tingkah laku yang dihadirkan dari kedua tokoh di dalamnya memiliki keunikan yang mengarah pada bentuk ketidaknormalan. Ketidaknormalan tersebut terlihat dari tokoh Rani yang memiliki kecemasan berlebihan hingga akhirnya sering melakukan percobaan bunuh diri dan tokoh Ansel yang mengalami trauma terhadap hubungan dengan lawan jenis seperti yang terlihat dari kutipan berikut.

“Kalau kau jadi dekat dengannya, dan kau lelah dengan gangguannya, dia akan … tahu kan ….” Benji membuat pistol dengan jarinya dan pura-pura menembak kepalanya, lalu mati. Dia mengangkat bahu, lalu mulai makan lagi. “Bukannya mau menyuruhmu menjauhinya. Cuma memberi tahu seperti apa situasinya. Dia jadi sangat depresi kalau berpisah dengan sesuatu terlalu lama, dan akan mencoba bunuh diri. Aku tahu kalau kau kerja di suicide hotline dan sejenisnya, tapi … yah, pikirkan saja”.

Kutipan tersebut menjelaskan tentang kondisi Rani yang menderita SAD (Separation Anxiety Disorder) dengan gejala kecemasan jika berpisah dengan Ansel ia dapat melakukan upaya untuk mengakhiri hidup. Di lain sisi, Ansel sebagai tokoh yang mengalami trauma pada sebuah tempat yang disebut Golden Gate Bridge seperti yang terlihat pada kutipan berikut.

“Kau pernah coba bunuh diri?” Tanya Benji, terang-terangan, “Selama ini, maksudnya.” Ansel menghentikan gerakannya, lalu kembali lagi ke kursi. Mengangguk. “Kurasa pernah. Tidak terlalu ingat. Tapi, kalau belum pernah, kurasa tidak mungkin semua orang jadi panik setiap kali aku bilang ‘Golden Gate Bridge’.”.

Trauma yang dialami tokoh Ansel terjadi setelah tragedi jembatan Golden Gate Bridge yang membunuh dua orang yang dicintainya hingga membuatnya selalu panik ketika mendengar tempat itu disebut. Selain itu, peristiwa bunuh diri yang dilakukan banyak orang yang ia saksikan, baik secara langsung maupun tidak telah menambah tekanan dalam dirinya. Perasaan tersebut merupakan gejala trauma jenis PTSD (Post Traumatis Stress Disorder) yang dialaminya setelah mendapati peristiwa buruk dalam hidup.

Keempat novel yang telah disebutkan merupakan novel-novel unggulan Ziggy. Novel tersebut memiliki keterkaitan cerita yang sama-sama menunjukkan sisi ketidaknormalan yang dialami tokoh melalui berbagai perilaku dan persoalan yang berbeda. Peristiwa dari berbagai macam perilaku yang diungkapkan pengarang pada masing-masing judul menunjukkan bahwa cerita-cerita yang diciptakan Ziggy memiliki kecenderungan pada segi abnormalitas tokoh. Ziggy memberikan pendekatan psikologi pada karya sastra yang berpusat pada aktivitas kejiwaan sehingga representasi abnormalitas dapat dipahami dengan objek yang menarik.

* Penulis adalah alumni Pascasarjana Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang dan sekarang berkegiatan sebagai karyawan Ruang Guru

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Open chat
Hai! Ada yang bisa kita bantu?