Oleh: Moh. Fikri Zulfikar*
Dengan Puisi, Aku
Karya: Taufiq Ismail
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercerita
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian yang akan datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam meringgis
Dengan puisi aku mengetuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya
Bagi setiap penyair, berpuisi adalah media untuk bernyayi, bercerita, mengenang, menangis, mengetuk, hingga berdoa. Persis dengan apa yang diucapkan Taufiq Ismail dalam puisinya di atas. Melalui puisi, penulis seakan-akan mampu menumpahkan apa yang ada di benaknya, yang entah tidak bisa dikatakan secara langsung kepada “mungkin seseorang?”. Keengganan untuk berkata secara langsung entah disebabkan karena malu, sungkan, atau malah takut menyinggung perasaan pendengarnya. Orang bisa bebas berkata-kata dalam puisi. Puisi adalah pancaran dari kejujuran para pembuatnya untuk mengutarakan pendapatnya.
Berpuisi, selayaknya yang telah dilakukan oleh dua penulis muda; Achmad Syafi’i dan Tasi’ Nugroho (Menghela Nafas) adalah upaya-upaya yang tak hanya meramu kata agar terbaca ritmis dan enak didengar ketika dibacakan, namun lebih dari itu. Setiap kata yang ditulis memiliki makna sebagai media bernyayi, bercerita, mengenang, menangis, mengetuk, hingga berdoa. Melalui kekuatan itulah, puisi mereka yang berjudul Membakar Puisi-Puisi dan Ibu Menulis Cinta di Benak Anak-anaknya tak hanya mampu mehibur pembaca, namun juga mampu menghadirkan suasana jiwa yang tenang sekaligus bergejolak. Bahkan dengan puisi mereka, seseorang seolah-olah mampu membangun tali silaturahmi dengan yang lain: kekasih, orang tua, saudara, guru, tetangga, dan sebagainya dalam cinta.
Meresapi dua buku kumpulan puisi di atas, sama dengan menghadirkan cinta di tengah-tengah pembacanya. Cinta menjadi topik utama dalam pembahasan puisi-puisi mereka. Ada cinta yang luhur, cinta yang penuh gairah, cinta yang menggelitik, hingga cinta yang menderita.
“Memang beginilah Cinta, deritanya tiada berakhir”
(Ti Patkay)
Manusia pasti pernah merasakan saat-saat melankolis, yaitu menganggap setiap hubungan dengan serius, bersikap romantis, sekaligus perfeksionis. Saat-saat itulah seseorang hanyut dalam suasana dan membuat jiwa bergejolak. Cinta hadir dalam suasana melakolis itulah yang kiranya membuat penulis mendapatkan ilham untuk menuliskan apa yang dia rasakan ketika berhubungan dengan orang lain.
Namun, yang harus digaris bawahi suasana melankolis untuk mengejawantahkan cinta tidak hanya soal hubungan pasangan laki-laki dengan perempuan saja yang dihadirkan dalam puisi-puisi mereka berdua, namun lebih dalam lagi. Cinta itu terepresentasi dalam berbagai hubungan, mulai dari hubungan anak dengan ibu, murid dengan gurunya, hingga hamba dengan Tuhannya.
Mari kita baca puisi yang menjadi andalan dalam buku mereka. Mengapa menjadi andalan? Karena puisi inilah yang menginsiprasi mereka untuk menjadikannya sebagai judul buku tersebut untuk mewakili keseluruhan. Yang pertama Puisi Ibu di Benak Anak-anaknya di buku Tasi’ Nugroho pada halaman 36 berikut.
Puisi Ibu di Benak Anak-anaknya
1/
Setiap malam jumat kurencanakan untuk menyusun doa lewat tulisanku
Sudah kubagus-baguskan kalimatnya
Sudah banyak bahasa kukolaborasi untuk memaknai cintamu
Sejauh ini kepuasan tulisan belum pernah kudapatkan
Aku menulis puisi semalaman
Ibuku menulis dan merangkap dengan sekali ucapan
Aku menulis puisi di lembaran kertas
Ibu menulis cinta di benak anak-anaknya
2/
Aku tidak menemukan celah kesalahan ibu
dalam menuliskan kalimat cinta di dada anak-anaknya
Karena cinta ibu terus mengalir di dalam diriku
Aku tidak pernah merasa kesepian
Meski sedang tidak bersamanya
3/
Setiap kata
yang keluar dari bibir ibuku
meski tanpa aturan menulis syair
tanpa pernah belajar syair
tanpa ada majas yang tercetak
meski tidak mengenal sajak
meski bukan tentang cinta
Aku memahami semua perkataannya
merupakan puisi cinta
Dalam puisi di atas seolah-olah menggambarkan bahwa cinta seorang ibu tidak ada bandingannya dan seorang anak tak akan bisa menyamainya. Walaupun anak dengan susah payah memberi cinta kepada pada ibunya, namun cinta itu selalu tak sebanding dengan apa yang telah diberikan seorang ibu. Hal ini terlihat dari gambaran cinta anak dalam kalimat “Aku menulis puisi semalaman” dengan “Ibuku menulis dan merangkap dengan sekali ucap”. Perbandingan cinta itu terdapat dari upaya semalam yang kalah hanya sekali ucap.
Cinta seorang ibu tidak akan bisa dilupakan, walau tak tertulis dalam berlembar-lembar kertas yang mungkin bisa dibaca kapanpun. Melampaui itu, cinta ibu kepada anak seperti langsung tertulis dalam setiap dada anak-anaknya yang tak bisa terhapus dan akan selalu melekat pada diri dan jiwa sang anak. Sehingga anak akan selalu teringat dan tidak akan kesepian, walau raga seorang ibu telah meninggalkannya.
Bait terakhir atau yang ketiga adalah “Gongnya” yang paling menarik. Kata-kata ibu melebihi puisi terindah yang pernah ditulis oleh penyair termashur sekalipun. Meski kata-kata ibu tidak bersyair, tak bermajas, atau bukan tentang cinta, namun setiap kata-kata seorang ibu selalu indah karena melampaui puisi itu. Setiap kata yang diucapkan seorang ibu selalu bermakna pada setiap anak karena selalu terselip cinta di dalamnya.
Puisi-puisi Tasi’ Nugroho juga menggambarkan kisah cinta antara laki-laki perempuan, salah satunya puisi berjudul Pertemuan Asmara. Kadang puisi bertema asmara itu juga dibalut dengan kisah jenakan seperti puisinya berjudul Sarungmu, Mbak. Tidak hanya itu saja, puisi Tasi’ juga menggambarkan cinta akan murid kepada gurunya terdapat pada puisi berjudul Aku Mengenal Cinta. Pada intinya, puisi-puisi yang dihadirkan Tasi’ Nugroho adalah cinta dari segala arah, yaitu anak kepada ibunya, seseorang kepada kekasihnya, murid kepada gurunya, hingga manusia kepada Tuhannya.
Puisi yang kedua karya yang berjudul Membakar Puisi-Puisi oleh Achmad Syafi’I di halaman 26 yang ada di buku yang sama judulnya dengan puisi tersebut.
Membakar Puisi-puisi
Aku ingin membakar buku-buku
yang berisi kumpulan puisi
yang memuat tentang namamu
Korek sudah siap di genggaman
dan pelatuk sebentar lagi memercik api
Ia menyala dan wus, aku tiup apinya
Mati! Ya, apinya mati.
Untuk apa pula aku membakar
buku-buku puisi itu
Buku-buku yang aku tulis
dengan tanganku sendiri
semuanya kan sudah tertanam di dalam ingatan
senyumanmu yang teduh
matamu yang indah
dan wajahmu yang cerah
Jadi, untuk apa aku bakar
Tulisanku sendiri,
Jika semua tentangmu
sudah tertanam dalam
di dalam ingatan?
Walau sama-sama menulis tentang topik cinta, namun puisi Membakar Puisi-Puisi berbeda dengan puisi Tasi’ Nugroho. Jika puisi Tasi’ lebih mengekplorasi cinta antara anak kepada ibunya, puisi Syafi’I lebih pada cinta sepasang kekasih. Dalam puisi lima bait itu digambarkan betapa kecewanya salah satu pasangan kepada kekasihnya. Atas kekecewaan itulah dia akhirnya hendak membakar puisi-puisi yang telah dia tulis untuk kekasihnya. Namun niat itu dia urungkan karena dia sadar bahwa membakar puisi tak ada artinya, karena puisi-puisi yang telah menggambarkan senyuman yang teduh, mata yang indah, dan wajah yang cerah sebenarnya sudah tertanam dalam ingatannya.
Inilah yang khas dari kisah seorang pemuda, mungkin sedang kasmaran tiba-tiba patah hati. Semua barang yang berhubungan dengan seorang kekasih bisa dihilangkan dari muka bumi ini, namun kenangan itu tidak akan pernah hilang secuil pun. Agaknya puisi-puisi Syafi’I memang kebanyakan adalah ungkapan-ungkapan cinta hingga patah hati tentang masa lalu bersama kekasih yang mendominasi dalam kumpulan puisi ini. Beberapa gejala itu terlihat juga pada puisi lain berjudul Selamat Tinggal Namamu, Bumerang Itu Adalah Puisi, Obituari Cinta, Kenangan Akan Puisi, hingga Rindu yang Dibalut Perban.
Patah hati merupakan modus eksistensi manusia yang merupakan upaya pembuktian cinta dengan tujuan pemilikan. Prof. Djoko Saryono, guru besar Sastra Indonesia dari Universitas Negeri Malang (UM) dalam ceramahnya di Seminar Patah Hati Nasional bertajuk “Tragis Tapi Manis” menceritakan bahwa cinta dan patah hati menjadi tema yang abadi dalam filsafat, mulai dari puisi hingga lagu dangdut sekalipun. “Plato juga pernah menulis soal patah hati. Bahkan namanya sampai diabadikan sebagai sindrom patah hati, yakni cinta platonis atau cinta tanpa pamrih, cinta yang tak harus memiliki,” sebutnya dalam seminar pada 9 September 2019 di Kota Malang.
Tema cinta dan patah hati pun juga terekam jejaknya dalam kesusastraan lampau. Gejala ini oleh Dwi Cahyono arkeolog UM pun dimisalkan pada hasil temuannya pada posisi perempuan yang patah hati. Literatur dari relief maupun susastra lampau menyatakan bahwa perempuan yang menjanda tidak ada yang disebabkan oleh perceraian, namun lebih pada menjanda karena ditinggal mati oleh suaminya (biasanya dalam perang). Ekspresi patah hati karena ditinggal kekasih itulah digambarkan dalam Belapati untuk ikut mati dengan suaminya. Sehingga ada istilah Malebeng Geni atau terjun ke dalam api dan menusuk keris kecil atau biasa dikenal Cundrik.
Itulah mengapa jangan pernah menyepelekan puisi-puisi bertemakan cinta atau patah hati. Setiap orang pasti pernah merasakan patah hati, tapi tidak banyak orang bisa menuliskan gejolak rasa ketika patah hati itu berlangsung. Patah hati bisa menjelma pada kata-kata yang indah dan ritmis karena digarap dengan sungguh-sungguh. Sehingga dengan membaca puisi bertemakan patah hati tak jarang bisa mengobati hati pembaca yang mungkin juga merasakan apa yang digambarkan dalam puisi tersebut. Dengan membaca puisi, sakit hati bisa terobati karena merasa terwakilkan.
Jauh sebelum Puisi cinta ditulis Achmad Syafi’I dan Tasi’ Nugroho, sastrawan besar Indonesia juga banyak menulis puisi cinta, terutama untuk kekasihnya. Salah satunya adalah WS. Rendra yang terkenal dengan puisi-puisinya yang penuh kritik terhadap Orde Baru hingga dia pernah dipenjara, serta pementasan dramanya berjudul Mastodon dan Burung Kondor pun dilarang oleh penguasa. Sebelum dia banyak menulis puisi-puisi kritis, di awal-awal tahun 1960-an puisi-puisi romantisnya lahir yang dia hadiahkan untuk sang kekasih, Sunarti Suwandi. Puisi romantisnya diantaranya berjudul Episode sebagai berikut.
Episode
Kami duduk berdua
di bangku halaman rumahnya.
Pohon jambu di halaman itu
berbuah dengan lebatnya
dan kami senang memandangnya.
Angin yang lewat
memainkan daun yang berguguran.
Tiba-tiba ia bertanya:
“Mengapa sebuah kancing bajumu
lepas terbuka?”
Aku hanya tertawa.
Lalu ia sematkan dengan mesra
sebuah peniti menutup bajuku.
Sementara itu aku bersihkan
guguran bunga jambu
yang mengotori rambutnya.
(1961)
Melalui adegan duduk di pelataran rumah, di bawah pohon jambu itu saja pembaca sudah bisa membayangkan, betapa romantisnya hal-hal remeh bagi dua insan yang tengah kasmaran. Bagaimana tidak remeh, hanya dengan mengancingkan baju dengan peniti dan membersihkan guguran bunga jambu dari rambut itu saja bisa menghadirkan suasana so sweet karena pembaca bisa membayangkan adegan sekaligus isi hati sepasang kekasih itu.
Tidak hanya WS. Rendra, penyair yang dijuluki Sang Binatang Jalang, Chairil Anwar pun tak bisa lepas dari puisi cinta. Terutama puisi untuk para wanitanya. Hidupnya begitu dekat dengan perempuan. Tak hanya kesayangan nenek dan ibunya, Chairil adalah Don Juan. Pria dengan berbagai petualangannya bersama banyak perempuan. Mereka diantaranya Ida Nasution, Sri Ayati, Sumirat, dan Hapsah. Salah satu puisi cintanya kepada sang kekasih yang bernada derita hadir dalam puisi berjudul Sajak Putih sebagai berikut.
Sajak Putih
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…
Membaca dua kumpulan puisi mereka berdua, agaknya puisi cinta adalah pilihan yang tak bisa terhindarkan dari berbagai macam singgungan dengan manusia lain. Semua orang pernah merasakan cinta. Puisi Tasi’ dan Syafi’I seperti mewakilkan hati dan perasaan setiap orang dalam merasakan berbagai sensasi cinta dari setiap orang di sekitarnya. Cinta harus selalu dipupuk agar bisa tersemai dan tumbuh menjadi kebaikan-kebaikan. Salah satu cara untuk memupuknya adalah dengan membaca dua kumpulan puisi ini. Semoga terhibur dan selamat membaca.
*Penulis merupakan pengajar di Universitas Islam Tribakti Kediri, anggota Divisi Advokasi AJI Kediri, dan bergiat di Komunitas Lapak Diskusi