Perjalanan Mengenal Pram

Oleh: Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd*

Meski sejak SMP saya tahu dan melihat buku sastra karya Pramoedya Ananta Toer, nyatanya baru SMA saya gemar membaca karya-karya Pram. Lebih-lebih sekolah saya membiasakan tiap siswa harus membaca dan kebetulan punya perpustakaan dengan koleksi novel lumayan lengkap dan bervariasi. Saat SMP saya sudah melihat tumpukan karya sastra koleksi ayah saya. Di antaranya karya-karya Pram, yaitu novel Cerita dari Blora, Perburuan, Korupsi, dan Keluarga Gerilya, yang bercampur dengan karya Senggono, Selasih, Sutan Takdir Alisjahbana, Amal Hamzah, dan Sanusi Pane.

Walaupun tak begitu paham, saya membuka dan membaca buku-buku itu, terlebih sesudah ayah saya cerita buku-buku itu memenangi sayembara dan/atau penghargaan sastra. Dari situlah saya mulai membaca karya Pram yang dikoleksi oleh ayah saya. Jelaslah tak mudah membaca karya Pram pada masa itu — masa Orde Baru sedang melakukan konsolidasi dan stabilisasi sosial politik dengan mata telik sandi di mana-mana, mata intelejen begitu nyalang, dan sistem pemata-mataan rakyat yang sangat struktural-sistemis. Saya pun membaca dengan sembunyi-sembunyi dan di tempat tersembunyi, bahkan buku juga saya sembunyikan sangat hati-hati. Biasanya buku Pram yang saya baca saya selipkan di buku lain atau saya masukkan buku lain, misal buku tulis atau map kertas ketikan. Tak heran, saya tak bisa cepat dan cepat-cepat baca novel-novel atau cerpen-cerpen Pram.

Rasanya sejak SMA, saya sudah kesengsem eh terkesima dengan Cerita Dari Blora, Perburuan, Keluarga Gerilya, dan Korupsi. Buku itu saya baca selain Noli Me Tangere, Dataran Tortila, Monte Cristo, Sanyasin, Saudagar Venesia, Keindahan dan Kepiluan, dan Dokter Zhivago yang kebetulan tersedia di Perpustakaan SMA. Selain latar tempat dan sosialnya yang kental Jawa, mitologi dan kosmologi Jawa yang kuat, rona kebudayaan Jawa yang tegas-menonjol membuat ingatan saya lebih awet dan melekat dalam empat karya Pram. Malah boleh dikata, empat karya Pram tersebut melekat senantiasa sampai saya kuliah, bahkan sampai ketika saya menyelesaikan disertasi tahun 90-an awal. Tak heran, saat menulis disertasi saya menjadikan dua karya penting Pram sebagai objek kajian, meski kemudian disarankan tak diteliti oleh promotor saya agar tak berisiko dan menjadi hambatan. Namun, seingat saya, Perburuan tetap saya ikutsertakan sebagai objek kajian disertasi yang membahas transformasi nilai budaya Jawa dalam fiksi Indonesia.

Kembali kepada karya-karya Pram, pada saat saya menuntaskan mata pelajaran SMA PPSP terbitlah roman monumental dan legendaris Pram berjudul Bumi Manusia terbitan Hasta Mitra. Terbitnya roman tersebut menimbulkan suasana panas dan kebakaran jenggot ORBA. Bukan hanya karena isu G30S/PKI masih amat sensitif dan menakutkan, tetapi juga karena Pram baru dibebaskan dari Pulau Buru dan roman tersebut dilabeli “tetralogi Pulau Buru”.

Tak ayal, terbitnya roman tersebut kemudian menyulut polemik lumayan sengit, yang kemudian hari dibukukan oleh Andy Asmara. Di tengah suasana miris seperti itu keinginan memiliki dan membaca roman Bumi Manusia justru makin kuat dalam diri saya, walaupun dada senantiasa deg-degan dan khawatir. Dengan diam-diam dan sembunyi-sembunyi, bahkan bisa dibilang bisik-bisik antarteman yang terbatas, saya mencari cara bagaimana mendapatkan atau membeli roman Bumi Manusia. Atas budi baik teman, yang pada dasarnya kakak kelas SMA saya, saya bisa membeli roman Bumi Manusia cetakan pertama terbitan Hasta Mitra. Ketika saya memegang pertama kali roman Bumi Manusia tentu saja saya gemetar dan diliputi rasa takut.

Sesudah itu, memasuki tahun 80-an saya mulai kuliah, saya lebih mudah dan dipercaya oleh teman untuk membeli buku-buku Pram yang terbit berikutnya, yang dengan berani, nekad, dan tabrak risiko diterbitkan Hasta Mitra. Entah dari jaringan mana, teman baik saya selalu membawakan karya-karya terbaru Pram yang terbit pada masa kuat-kuatnya ORBA. Tetap dengan jalan bawah tanah, berikutnya saya bisa membeli Anak Semua Bangsa, Tempo Doeloe, Sang Pemula, Dia yang Dilumpuhkan, Mencoba Tidak Menyerah, dan lain-lain bisa saya beli dan koleksi. Membacanya tentulah tetap dengan cara sembunyi-sembunyi di tempat tersembunyi. Selain itu, saya juga menyimpannya di tempat tersembunyi dan tak pernah saya ceritakan kepada siapa pun buku Pram yang saya miliki. Menyimpan sekaligus membaca buku Pram pada ORBA terasakan membuat cemas berkepanjangan, mengingat buku-buku tersebut dilarang secara resmi.

Syukurlah, buku-buku sastra Pram cetakan pertama yang terbit pada masa ORBA (segera dilarang pemerintah pula) dapat saya koleksi. Sampai sekarang saya simpan dengan baik. Meskipun ada cetakan baru, buku-buku Pram cetakan lawas tersebut tetap saya simpan dan rawat dengan baik karena di dalamnya terkandung perjalanan getir dan menggentarkan seorang anak manusia mengenal karya sastra bermutu besutan Pram. Membaca karya Pram bagaikan membaca sejarah Indonesia.

*Penulis merupakan Guru Besar bidang Ilmu Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang

2 thoughts on “Perjalanan Mengenal Pram

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Open chat
Hai! Ada yang bisa kita bantu?