Oleh: Moh. Fikri Zulfikar*
“Penerbitan buku memang selayaknya mandiri. Kalau tidak mandiri akan menyusahkan orang lain. Hehe…”
Usaha ini diawali dari kegemaran membaca kemudian berlanjut pada menulis buku. Karena sudah sekian lama menulis, seorang penulis pastinya juga ingin tulisannya dibaca oleh banyak orang. Begitupun kami, karena sadar bahwa kami penulis amatir, tidak lah PD untuk mengirimkan karya ke penerbitan buku. Karena yakin selain pasti ditolak juga pasti ditertawakan. Apalagi yang ditulis adalah puisi yang sangat menye dan cerpen yang sangat tidak meyakinkan. Cara termudah untuk menerbitkan buku agar pasti tercetak adalah dengan menerbitkannya secara mandiri, alias self publishing. Sedangkan agar karya yang dicetak secara terbatas (karena dana mandiri) dibaca orang lain adalah dengan diberikan ke sahabat dan pacar secara cuma-cuma.
Dengan menerbitkan secara mandiri, mulai dari mencetak per-halamannya di ormawa agar bisa ngeprint dengan kertas gratis, cetak cover pakai kertas artpaper di percetakan poster, hingga penjilidan di fotocopy-an pun akhirnya kami tahu ilmunya dalam menerbitkan buku. Bermula dari kumpulan puisi akhirnya merembet ke kumpulan cerpen. Dari diberikan secara cuma-cuma akhirnya dikirimkanlah ke penerbit-penerbit mayor seperti Grasindo, Mizan, hingga Gramedia. Kabar baik pun untuk terbit hingga saat ini tidak ada kabar.
Karena lelah menunggu karya terbit di penerbit-penerbit mayor itulah, akhirnya kami berkecimpung di penerbitan mandiri. Dari sinilah karya-karya kami lahir, dicetak, dan dipasarkan. Apakah kami ‘maksa’ walaupun karya-karya yang kami terbitkan secara mandiri itu telah ditolak penerbit-penerbit lain, tapi tetap ngebet diterbitkan sendiri? Gak urus, yang penting buku kami tercetak dan ternyata laku di pasaran, walaupun tidak best seller macam karya-karyanya Tere Liye.
Kami mengenal penerbitan mandiri ada dua tipe, self publishing dan independent atau indie. Sejak tahun 2018 kami di CV. Muara Media Pustaka mengembangkan dua tipe penerbitan tersebut. Melalui penerbit Muara Books kami kembangkan penerbitan ke ranah self publishing dan Bara Books ke indie. Dua hal ini memiliki perbedaan, terutama dalam cara kerja, tema dan gaya tulisan, independensi naskah, pangsa pasar, hingga ideologinya.
Self publishing merupakan upaya dalam menerbitkan naskah sesuai orderan penulis sebagai pemesan. Semua tema, genre, hingga jenis buku bisa diterima di penerbitan ini karena menyesuaikan keinginan penulis sebagai konsumen (raja bagi produsen). Kebebasan penulis bisa terjadi dikarenakan modal pencetakan suatu naskah ditanggung oleh penulisnya. Sehingga penulis memiliki hak atas naskah yang hendak dia terbitkan. Peran penerbit hanya sebagai pelaksana; melayout isi, mendesain cover, dan mencetaknya. Penerbit jenis ini memiliki pasar yang luas, terutama untuk penulis amatir yang ngebet tulisannya bisa diterbitkan tanpa melalui kurasi.
Apakah salah, tidak juga. Setiap penulis pasti percaya bahwa tulisannya akan bisa ke tangan pembacanya, walaupun melalui penerbitan buku dengan modal sendiri. Hal ini membantu penulis yang kadang sudah lelah dengan penolakan penerbit mayor dan indie karena dianggap tidak marketable atau tidak memiliki nuansa isi yang “berkualitas” menurut perspektif penerbit mayor dan indie. Dari sinilah penulis bisa menerbitkan karyanya dengan “idealismenya” tanpa takut ditolak, diedit, atau disensor karena dianggap kurang layak oleh penerbit mayor dan indie.
Walau kesannya negatif karena dianggap memaksakan buku yang kurang layak untuk diterbitkan, namun cara penerbitan self publishing ini sangatlah laku. Melalui penerbitan ini sejak awal kita harus menempatkan posisinya berbeda dengan Indie dan mayor, karena self-publishing bekerja atas nama komersial. Murni menerbitkan buku untuk keuntungan finansial. Bagi penerbit, mereka akan mendapat banyak keuntungan dari banyaknya pemesanan dari penulis yang ingin menerbitkan bukunya. Sedangkan bagi penulis bisa digunakan sebagai eksistensi hingga memiliki nilai praktis yang lain. Karena selain menggunakan bukunya itu untuk dijual kembali, juga bisa digunakan sebagai alat personal branding.
Kenapa penerbit self-publising menguntungkan? Karena pasar ada! Seperti hukum pasar, dimana ada permintaan, disana ada konsumen. Salah satu konsumen yang pemesanannya tinggi adalah dari kalangan akademisi, yaitu dari kampus dan sekolah. Kampus diwakili oleh dosen dan mahasiswa, sedangkan sekolah dari guru dan siswa. Mari kita urai lebih dalam, mengapa pihak kampus dan sekolah sangat butuh penerbit self-publisng? Hal ini tidak bisa lepas dari monetisasi pendidikan kita.
Dosen yang menulis, bukunya harus memiliki ber-ISBN, ber-ISSN, hingga ber-QRCBN. Dengan cara itu mereka akan mendapatkan nilai komulatif yang bisa digunakan untuk menaikkan jabatan fungsional (Jabfung) mereka. Semakin banyak karya yang diterbitkan, semakin nilai komulatifnya tinggi dan akan mendongkrak jabatan fungsionalnya. Hal ini penting bagi dosen yang ingin naik kepangkatannya mulai dari asisten ahli hingga tertinggi guru besar (professor). Apalagi nilai komulatif buku ber-ISBN sama nilainya dengan artikel yang terbit di jurnal Internasional terindeks Scopus dan WOS. Begitupun guru di sekolah, mereka punya pangkat yang perlu naik agar gaji mereka juga ingin ikut naik.
Soal dana, mereka pasti ada! Karena dana penerbitan itu datang bukan hanya dari gaji bulanan mereka, namun kampus hingga Negara menyediakannya melalui sayembara-sayembara proposal penelitian hingga pengabdian masyarakat. Dan dananya, tidak main-main banyaknya. Lantas apakah karya mereka semua bermutu! Tidak semua, sehingga pasar kami ada disitu. Karya mereka yang tidak ada kabar atau ditolak di penerbit mayor dan indie akan menjadi ranah kami. Memang kesannya penerbitan ini rasanya “kotor” tapi saya ulangi lagi, ideologi dalam penerbitan ini adalah komersialisme dan memang kapital adalah tujuannya, hehe…
Tadi pasar dosen, kini kami uraikan pasar mahasiswa. Mahasiswa setiap semester pasti punya tugas atau proyek di setiap semester. Tidak sedikit dosen memberikan tugas untuk membuat artikel ilmiah hingga karya sastra di setiap semester. Di akhir semester tidak jarang karena manganggap karya mereka itu layak diterbitkan, entah kepedean atau hanya untuk eksistensi, mereka rela untuk iuran setiap mahasiswa mencetak per eksemplar buku. Sehingga jika satu kelas ada 40 mahasiswa, mereka berpotensi untuk menerbitkan buku kumpulan atau bunga rampai karya mereka sebanyak 40 eksemplar.
Di tingkat sekolah lebih besar lagi pasarnya. Salah satu contoh bisa terlihat dari setiap jenjang pendidikan sekolah pasti ada mata pelajaran (mapel) Bahasa Indonesia, Inggris, dan Daerah. Di setiap mapel itu pasti ada materi menulis, entah menulis puisi, cerpen, hingga berita. Semua materi itu bagi kami penerbit self-publishing adalah “cuan”. Dengan mudah guru mata pelajaran menghimpun dana dari siswanya satu persatu untuk menerbitkan bunga rampai kumpulan karya mereka itu. Dari iuran itu nanti setelah buku terbit akan kembali dibagikan kepada anak-anak yang iuran tadi. Ibaratnya seperti dengan modal membeli satu karya mereka sendiri saja, mereka bersama-sama sudah bisa menerbitkan buku bersama.
Karya para siswa tak jarang akan diedit atau hanya ditempeli nama gurunya sebagai editornya. Melalui kumpulan karya para siswa itu pula lah guru bisa mengklaim hasil kerja mereka sehingga bisa mereka gunakan sebagai bahan komulatif penilaian mereka untuk menaikkan pangkat. Itupun juga yang sering dilakukan oleh para dosen di kampus-kampus. Praktik yang dilakukan dosen, mahasiswa, guru, dan siswa ini pun juga didukung pihak kampus maupun sekolah. Terutama karya-karya mereka yang diterbitkan secara self-publishing yang memiliki nilai legalitas ISBN maupun QRCBN bisa digunakan untuk bahan akreditasi sekolah agar bisa menuju “Unggul”.
Kadang kami sebagai penerbit self-publishing merasa berdosa, karena hanya mengejar keuntungan tanpa melihat kualitas karya. Namun melalui penerbitan kami di Bara Books, cara ini akan menjadi penebusan dosa kami. Hehe.. Kami harus imbang dalam praktik penerbitan, mencari keuntungan finansial sekaligus mendidik pembaca melalui bahan bacaan yang berkualitas, baik, dan penuh penyadaran karena merdeka. Melalui Bara Books yang independent, kami memiliki ideologi yang bagi kami idealiskan untuk disebarkan melalui buku-buku terbitan kami kepada pembaca.
Kami sadar buku yang berideologi, baik, dan merdeka tidak selalu laku. Pembaca buku lebih suka dengan buku yang sekedar menghibur atau berisi sensasi saja atau biasa disebut buku pop. Lebih tragis lagi masyarakat kita jelas-jelas mayoritas bukan pembaca buku. Sehingga jangan berharap bisa kaya dari jualan buku yang terbit dari penerbit-penerbit independent ini. Karena selain kurang diminati juga tidak memiliki pasar yang tinggi. Tapi kenapa mereka tetap berusaha menerbitkan buku yang idealis itu? Hal ini bisa terkait dengan passion, minat, hingga ideologi si pemilik penerbitan itu. Harapannya mereka akan menjadi hero sebagai pemberi penyadaran bagi masyarakat melalui buku-buku independen tersebut. Hal itu adalah sumber kebahagiaan bagi si owner penerbitan buku itu.
Walaupun sudah sadar sulit laku, tapi upaya bagi penerbit-penerbit indie seperti kami ini penting dilakukan. Terutama untuk memberikan bahan bacaan alternatif bagi masyarakat. Karena buku-buku populer yang bertema percintaan hingga hiburan sudah pastinya digarap oleh penerbit mayor macam Gramedia hingga Mizan. Mereka para penerbit indie akan menerbitkan karya sesuai tema dan genre yang memang diidealkan oleh penerbit, walaupun mereka sadar tema dan genre itu akan sulit dipasaran. Biasanya tema mereka mulai dari filsafat, sospol, hingga seni sastra kontemporer.
Bara Books didirikan dengan sadar bahwa buku-buku yang kami terbitkan tidak akan best seller karena tema dan genrenya tidak lah populer. Malah cenderung akan menimbulkan pembaca hingga pemerintah gusar. Sehingga memang harapan kami orang yang membaca buku terbitan kami selain bisa memiliki kesadaran, mereka juga bisa jadi jengkel, takut memengangnya karena dianggap buku berbahaya dan terlarang, hingga pada akhirnya mereka bakar buku tersebut. Karena kami sadar bahwa kesadaran kadang juga rasanya pahit dan juga bisa membuat jiwa terancam. Lebih baik tidak sadar karena bisa membuat diri lebih aman. Karena kesadaran mampu membuat seseorang bisa melawan penindasan dan kebodohan yang pastinya akan menjadi risiko mereka untuk memberontak dan ditangkap aparat. Hehehe…
Dari situlah dengan kesadaran kami, uang bukanlah sebagai segalanya dalam menerbitkan buku-buku independent kami karena kami merdeka dan lepas dari kekangan swasta maupun pemerintah. Tapi kami tetap harus hidup dan menghidupi dengan uang, sehingga self-publishing juga kami gunakan untuk menyokong independensi kami agar tetap terjaga dan tetap bisa menerbitkan buku-buku independent yang tidak melulu bertendensi pada pasar.
Tak ingin munafik, bisnis melalui penerbitan indie juga tetap berharap bisa diterima masyarakat dan bisa menghasilkan keuntungan agar produksi buku-buku independent lainnya bisa terus terjadi. Sehingga kami juga harus tahu pasarnya, agar buku-buku indie kami bisa diterima dan diperjual-belikan di masyarakat, kami harus menyasar pasar reseller toko buku dan pembaca indie pula. Memang tidak sebanyak pasar buku pop, namun para pemilik toko buku dan pembaca buku indie tetap ada yang kadang mereka lebih militan.
Biasanya toko buku indie militan dalam berupaya mendapatkan buku-buku berkualitas yang seideialis dengan mereka. Mereka tidak akan ragu untuk menyetok buku indie kalau paham isinya berkualitas dan penting dibaca oleh masyarakat dengan muatan ideologi yang ditawarkan. Cara penjualannya pun mereka cukup militan, walaupun kadang toko buku mereka seadanya dan malah kadang tidak punya toko karena mereka menimbun buku di rumah, mereka agresif menjual melalui kanal-kanal sosmed seperti instagram hingga marketplace lain.
Tak cukup disitu, mereka juga rela melapak jualan buku-buku indie yang mereka jual ke berbagai tempat, mulai dari ke tempat kegiatan komunitas literasi hingga bisa sampai ke CFD. Para penjual buku ini bisa dikatakan “gendeng” karena kadang bukanlah keuntungan finansial yang mereka tuju, namun kepuasan memberikan bahan bacaan yang baik, berkualitas, dan merdeka bagi pembacanya. Itu yang kami sebut sebagai penjual buku militan dan mereka adalah pasar kami. Mereka yang seideologi dan memiliki independensi yang sama dengan kami. Soal pembaca, jangan ditanya. Pasti ada, walaupun tetap kami tekankan tidak akan sebanyak pembaca buku-buku pop.
Dengan menjalankan bisnis di dua kaki inilah, kami merasa bahagia dan apa yang kami lakukan menyenangkan. Di sisi lain kami tetap bisa menyalurkan independensi melalui Bara Books, kami juga bisa mereguk keuntungan finansial melalui Muara Books. Sehingga usaha penerbitan bisa berjalan seimbang untuk menjaga keberlangsungan produksi buku. Semoga semakin subur dan laris penerbit di Indonesia! Semoga seluruh masyarakat Indonesia diberi hidayah agar suka membaca sehingga usaha kami bisa berjalan dengan lancar, karena apa yang kami produksi bisa laku dan diterima masyarakat. Hehehe…
*Penulis merupakan owner CV. Muara Media Pustaka dan pengajar di UIT Lirboyo Kediri Kediri