Oleh: Moh. Fikri Zulfikar*
Mengkaji hubungan Sastra Lekra dengan konsep patriotisme tidak bisa lepas dari hakikat patriotisme itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia patriotisme merupakan sikap seseorang yang bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya; semangat cinta tanah air. Rashid (2014) menyebutkan bahwa pariotisme adalah sikap setia, berani, rela berkorban, serta cinta pada bangsa dan negara. Sedangkan menurut Druckman (1994) patriotisme merupakan cerminan nyata dari sikap nasionalisme. Dari berbagai definisi tersebut dapat di ambil intisarinya dalam mengartikan patriotisme, yaitu sikap seseorang yang berani serta pantang menyerah dalam memperjuangkan tanah airnya dari segala bentuk penjajahan.
Cinta tanah air yang merupakan representasi dari setia pada bangsa dan negara tak hanya sebatas melakukan bela negara saat negara dijajah oleh negara lain. Namun juga rela berkorban ketika hak pribadinya hingga hak keluarganya dirampas oleh pihak lain. Karena menurut Druckman patriotisme dimulai dari sikap individu dalam mengembangkan perasaannya pada diri dan kemudian terikat pada kelompok yang dianggap senasib dan sepenanggungan. Dari sikap itulah mereka membangun loyalitas terhadap kelompok yang disebut sebagai solidaritas. Sehingga loyalitas yang tinggi dengan ditandai dengan keberanian dan rela berkorban menimbulkan reaksi permusuhan terhadap kelompok lain yang dianggap mengancam.
Mengkaji sastra Lekra untuk mendedah muatan patriotismenya bisa didekati dengan konsep pragmatik sastra yang merujuk pada konsep relasi triadik Charles Sanders Peirce. Konsep itu memandang dalam pemaknaan tanda selalu terdapat relasi triadik dalam semiotik, yaitu antara representasi, objek, dan interpretasi (Rusmana, 2014). Dalam hal ini objeknya adalah karya sastra Lekra yang merepresentasikan bentuk-bentuk patriotisme sekaligus karya tersebut mampu menginterpretasi pembacanya untuk memproyeksi suatu agenda patriotisme. Bisa dikatakan bahwa representasi adalah bentuk patriotisme dalam karya sastra Lekra, sedangkan interpretasi adalah fungsi dari sastra Lekra dalam mempengaruhi pembaca agar memiliki sikap patriotisme.
Di ranah puisi akan kita temukan banyak sastrawan Lekra yang menulis dengan menunjukkan sikap patriotismenya. Diantaranya karya salah satu pendiri Lekra sekaligus ketua CC PKI D.N. Aidit di tahun 1957 yang menuliskan puisi berjudul Tembok Granit (1957) yang menggambarkan sikap pentingnya rakyat bersatu dalam melawan neokolonialisme dan pengaruh negara-negara imperialis yang hendak kembali menjajah Indonesia melalui politiknya, berikut cuplikannya.
Derap sepatu sedjarah
akan indjak2 si kepala batu
dan bajonet itu akan patah
Tembok granit lebih keras
dari tembok batu
tembok granit Rakjat bersatu
Sikap patriotisme juga tampak pada pendiri Lekra lain yang juga sebagai wakil ketua CC PKI, Njoto. Salah satu puisinya berjudul Merah Kesumba (1961) merupakan bentuk solidaritasnya pada Kongo atas penindasan yang dialami negara tersebut akibat penjajahan kaum Imperialis Belgia.
Darah Lumumba merah kesumba
darah Lumumba merah kesumba
Konggo!
laparmu lapar kami
lapar revolusi
Tak hanya konteksnya adalah sikap cinta tanah air yang direpresentasikan pada kecintaan terhadap Negara sendiri dan solidaritas pada Negara lain. Patriotisme juga hadir dalam karya sastra Lekra dalam mengungkapkan solidaritas pada kelompok kecil seperti petani yang rela berkorban dan gigih dalam mempertahankan hak atas tanahnya dari penindasan tuan tanah. Nilai patriotism itu tampak pada puisi Agam Wispi berjudul Matinja Seorang Petani (1961) berikut.
Depan kantor tuan bupati
Tersungkur seorang petani
Karena tanah
Karena tanah
Dalam kantor barisan tani
Si lapar marah
Karena darah
Karena darah
Tanah dan darah
Memutar sedjarah
Dari sini njala api
Dari sini damai abadi
Di dalam cerpen-cerpen Lekra yang diterbitkan Koran Harian Rakjat juga tampak sikap rela berkorban dan keberanian. Seperti tampak pada cerpen Sesongko berjudul Tetap Bertahan (1955) yang juga menceritakan patriotisme petani yang berjuang untuk menuntut keadilan pemanfaatan sumber daya air yang dikuasai oleh tuan tanah. Tak hanya itu, pada cerpen Moedjiono berjudul Raden Raharjo (1961) menceritakan dalam hal membangun negeri di jaman modern ini tak penting lagi simbol-simbol kepriyayian seperti panggilan “Raden”. Hal yang terpenting adalah siapapun yang mampu memberikan sumbangsihnya pada negara, walau itu adalah rakyat jelata. Cerpen lain yang sangat tersurat menyatakan patriotism hadir dalam cerpen berjudul Pak Ali Wartawan Kawakan karya Dharmawati (1961) mengisahkan seorang wartawan yang berani menulis berita tentang kebusukan-kebusukan pemerintah Jepang atas penjajahannya di Indonesia. Akibat sikapnya itu, Ali harus diciduk dan disiksa oleh pemerintah Belanda.
Pada ranah novel memang sulit ditemukan sastrawan Lekra menulis Novel. Menurut Scherer (2012) hal itu tidak bisa lepas dari aturan Lekra dalam membuat karya sastra yang harus berangkat dari riset mendalam dan dilakukan bertahun-tahun dengan melakukan Turun ke Bawah (Turba). Akibat ketatnya aturan agar menghasilkan novel yang berkualitas dan berideologi, membuat intensitas produksi novel di kalangan sastrawan Lekra tergolong minim. Salah satunya adalah novel karya Pramoedya Ananta Toer yang ketika aktif di Lekra dia mampu menerbitkan satu novel berjudul Peristiwa di Banten Selatan. Novel ini menurut Muhidin M. Dahlan adalah proyek eksperimen Pramoedya dalam penerapan ideologi Realisme Sosialis yang memiliki muatan patriotisme dalam upaya perlawanan rakyat melumpuhkan pemberontakan DI/TII (Arianto, 2021).
Pada esai-esai kritik sastra, sastrawan Lekra juga tak kalah patriotis dalam memperjuangkan agar budaya Imperialisme dan Neokolonialisme yang merusak dan menjajah tidak kembali hadir di Indonesia. Sikap anti ini ditunjukkan Lekra dalam tulisan-tulisan esainya yang mengkritik para sastrawan yang dianggap mendukung budaya barat tersebut (Zulfikar et al., 2022). Salah satu sikap itu ditunjukkan pada agitasinya melawan budaya barat yang direpresentasikan dalam ideologi Humanisme Universal yang digaungkan oleh pihak Manifes Kebudayaan. Agitasi melalui esai-esai sastra tampak di bulletin Lentera dan koran Harian Rakjat yang digawangi Pramoedya hingga Abdullah SP. Pihak Manifes Kebudayaan yang digawangi HB. Jassin hingga Goenawan Mohammad juga tak mau kalah dengan membalas esai-esai kritik tersebut melalui Majalah Sastra.
Membaca hubungan Sastra Lekra yang memiliki muatan Patriotisme tidak bisa lepas dari sejarah bangsa, terutama sejarah sastra Indonesia modern. Berbeda dengan ahli-ahli sastra lain seperti HB. Jassin dan Ajip Rosidi yang membagi babagan Sejarah Sastra Indonesia dengan priode-periode, Prof. Bakri Siregar (1964) yang juga sebagai pemikir sastra dari Lekra membaginya melalui tema-tema sastra dalam membangun hal ihwal sejarah sastra Indonesia Modern. Dalam hal ini Bakri Siregar mengawali sejarah Sastra Indonesia modern dengan karya sastra yang memiliki muatan kesadaran nation untuk bersatu melawan penjajah. Kesadaran nasionalisme ini penting sabagai tanda bahwa rakyat terutama pribumi harus sadar bahwa mereka tengah dijajah. Kesadaran itu muncul dari rakyat pasca membaca karya sastra yang bermuatan nilai patriotisme dan nasionalis. Karya yang dimaksud itu adalah roman berjudul Max Havelar yang ditulis Multatuli atau Eduard Douwes Dekker.
Bakri Siregar yang juga ketua Lembaga Sastra (Lestra) di bawah kordinasi Lekra memilih Max Havelar karena dianggap karya sastra pertama yang secara gamblang menggambarkan penindasan kaum bumiputra di daerah Lebak, Banten akibat sistem tanam paksa. Melalui karyanya itulah mempengaruhi penulis-penulis setelahnya yang juga banyak terinspirasi dan ikut menulis karya sastra berkisah patriotisme pribumi dalam upaya melawan dominasi pemerintah Kolonial Belanda. Beberapa penulis yang terpengaruh Max Havelar diantaranya adalah Mas Marco Kartodikromo dengan romannya berjudul Student Hidjo dan Semaoen berjudul Hikajat Kadiroen. Karena dianggap subversif dan isinya menentang kebijakan pemerintah Belanda, dua novel tersebut masa itu masuk dalam jajaran bacaan liar dan dilarang untuk dibaca (Erowati & Bahtiar, 2011).
Tidak hanya itu, Bakri Siregar dalam bukunya berjudul Sedjarah Sastera Indonesia Modern itu juga menyebutkan kiprah pemikiran dari sastrawan Uni Soviyet, Marxim Gorky juga mempengaruhi karya-karya sastra Indonesia, tidak terkecuali karya sastrawan-sastrawan Lekra. Melalui pemikirannya, Gorky memperkenalkan ideologi kekaryaan yang dilandaskan pada Realisme Sosialis. Pramoedya Anata Toer (2003) menegaskan bahwa realisme sosialis merupakan bagian integral daripada kesatuan mesin perjuangan umat manusia dalam menghancurkan penindasan dan penghisapan atas rakyat-pekerja, yakni buruh dan tani, dalam menghalau imperialisme-kolonialisme.
Senada dengan Pramoedya, Keith Foulcher (2020) juga menerangkan Ralisme Sosialis yang dilakukan sastrawan Lekra bukan tanpa maksud. “Realisme” merupakan komitmen intuitif sekaligus sebagai rujukan bagi cita-cita Lekra terhadap kebudayaan Indonesia yang sebenarnya atau objektif. Sedangkan, istilah “sosialis” merepresentasikan apa yang di Indonesia sebut sebagai orientasi kerakyatan; keyakinan bahwa kegiatan kebudayaan harus selalu diarahkan kepada kepentingan masyarakat Indonesia yang adil dan semestinya, baik sebagai visi ke depan maupun sebagai pedoman aksi masa kini.
Daftar Referensi
Aidit, D. N. (1957, September 15). Tembok Granit. Harian Rakjat, 3.
Arianto, P. E. (2021). Muhidin M. Dahlan: Pramoedya, Lekra, hingga Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur. Mojokdotco. https://www.youtube.com/watch?v=ZInFBlfrCmM
Dharmawati. (1961). Pak Ali, Wartawan Kawakan. Harian Rakjat, 4.
Druckman, D. (1994). Nationalism, Patriotism, and Group Loyalty: A Social Psychological Perspective. Mershon International Studies Review, 38(1), 43–68.
Erowati, R., & Bahtiar, A. (2011). Sejarah Sastra Indonesia. Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah.
Foulcher, K. (2020). Komitmen Sosial dalam Sastra dan Seni: Sejarah Lekra 1950-1965. Pustaka Pias.
Moedjiono. (1961). Raden Rahardjo. Harian Rakjat, 3.
Njoto. (1961). Merah Kesumba. Harian Rakjat.
Rashid, A. R. A. (2014). Patriotisme: Agenda Pembinaan Bangsa. Utusan.
Rusmana, D. (2014). Filsafat Semiotika: Paradigma, Teori, dan Metode Interpretasi Tanda dari Semiotika Struktural hingga Dekonstruksi Praktis. Pustaka Setia.
Scherer, S. (2012). Pramoedya Ananta Toer Luruh dalam Ideologi. Komunitas Bambu.
Sesongko. (1955). Tetap Bertahan. Harian Rakjat, 3.
Siregar, B. (1964). Sedjarah Sastra Indonesia Modern 1. Akademi Sastra dan Bahasa Multatuli.
Toer, P. A. (2003). Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (2nd ed.). Lentera Dipantara.
Wispi, A., & Dkk. (1961). Matinja Seorang Petani. Bagian Penerbitan Lembaga Kebudajaan Rakjat.
Zulfikar, M. F., Saryono, D., & Syahri, M. (2022). Sastrawan Lekra dan Perlawanan Kelas Pekerja. Bara Books.
*Penulis adalah dosen dan Kaprodi Tadris Bahasa Indonesia UIT Lirboyo Kediri